Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Panas Dingin Hubungan Sastra dan Politik

Diperbarui: 10 Februari 2019   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: swide.com

Saya merasa harus membuat sebuah penelitian kecil tentang hubungan sastra dan politik. Saya tergelitik oleh seorang lulusan sastra Rusia UI yang terjun dalam politik kemudian sekarang mulai meramaikan jagad politik yang riuh rendah itu dengan membuat puisi.

Ia menjadi penyindir dan oposisi paling konsisten, rela dibully dan di caci maki hanya untuk memaki. Sejak menjadi Wakil Ketua DPR berita tentang dia bukan masalah kompleksitas masalah DPR yang sebetulnya banyak pekerjaannya.

Ia lebih senang berselancar di jagad maya, membikin heboh media sosial. Sangat hobi mencaci apalagi mengejek Presiden dan pemerintahannya.

Posisinya adalah anggota partai oposisi, tetapi jabatannya sebagai pimpinan DPR harusnya lebih pada sinergi kepada pemerintah, tetapi kesehariannya menjadi penentang utama termasuk Undang-Undang yang disepakati antara pemerintah dan DPR.

Politisi "Demam" Puisi
Politikus sekaligus sastrawan, atau penyair kerennya pemuisi. Apapun blunder pemerintah bisa dijadikan puisi. Ia memang pawai dalam hal membuat puisi yang bikin heboh, bahkan penyair semacam Timur Suprabama, Sapardi Djoko Damono, dan deretean penyair yang tulisannya sering muncul di koran nasionalpun kalah populer. Sekali memposting puisi ribuan bahkan mungkin jutaan orang bereaksi.

Sekarang orang kebingungan sebenarnya dia itu penyair atau politikus sih. Saya menduga ia sedang dalam taraf sebuah perjalanan spiritual. Kalau dia pensiun dari politik apakah bisa gabung di Kompasiana dan mengisi kolom fiksiana. Tapi yang menjadi masalah puisi-puisi dia bernuansa politis.

Dari segi keindahan? Dia memang menggunakan rima dengan teori seni. Masalah kualitas puisi saya menyerahkan ke Bung Khrisna Pabicara saja ia sangat paham. Sastra dan politik diibaratkan seperti satu keping dua mata uang. Bersisihan tapi bertolak belakang.

Ketika Sastrawan Kritis terhadap Penguasa
Banyak sastrawan berjarak dengan politik. Mereka selalu menjadi pengkritik paling depan terhadap keganjilan dunia politik. Dari rezim ke rezim pemerintahan, sastrawan selalu menemukan keanehan, keganjilan dalam beberapa poin kebijakan penguasa. Banyak yang akhirnya masuk penjara. Muchtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, W.S Rendra, Wiji Thukul.

Suara kritis sastrawan menentang hegemoni penguasa amat wajar. Mereka mengemas tulisan dengan bahasa yang indah. Terstruktur dan mempunyai kandungan sastra tinggi. Hasil permenungan, hasil pengendapan rasa, dan kepedulian pada sesama membuat sastrawan berani mengorbankan diri untuk menentang kekuasaan dengan tulisan-tulisannya yang berhasil membuat penguasa merasa harus menjebloskan sastrawan tersebut ke penjara.

Puisi-puisi Wiji Thukul adalah gambaran sebenarnya masyarakat bawah. Puisi-puisi penyair yang berprofesi sebagai buruh itu adalah gambaran betapa penguasa menyembunyikan kenyataan sebenarnya tentang kondisi masyarakat akar rumput, terutama kaum buruh, pabrik, kuli, dan masyarakat miskin yang harus berjuang hidup tanpa dukungan pemerintah.

Rezim penguasa boleh mengklaim keberhasilan tetapi mata sastrawan, penyair tidak bisa ditipu, maka ia menulis, ia mengritik dengan risiko penjara karena tulisannya yang membuat telinga penguasa memerah pedas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline