Polemik kepemimpinan di DKI Jakarta telah membuat pengaruh signifikan terhadap berita-berita media. Sejak Pilkada bergulir dan akhirnya pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno terpilih menjadi gubernur berbagai persoalan ibu kota selalu berhubungan dengan politik. Jakarta masih terpecah dalam suasana politik yang penuh intrik, penuh isu-isu miring dan ujaran kebencian.
Menjadi pemimpin di Jakarta mau tidak mau akan terbawa-bawa oleh persoalan Jakarta yang kompleks. Sesempurna apapun pemimpin tetap akan berpengaruh terhadap kubu-kubu yang merasa tidak puas.
Sebagai gubernur memang butuh nyali besar dalam memimpin Jakarta. Dalam benak masyarakat Jakarta, gubernur harus bisa mengubah Jakarta dalam waktu cepat, harus mempunyai terobosan akurat untuk mengatur birokrasi gemuk.
Magnet Jakarta dan Perputaran Uang yang Menggiurkan
Dari ukuran ibu kota negara ada banyak keuntungan yang dipunyai Jakarta. Lintas perputaran uang di Jakarta sungguh luar biasa. Kantor-kantor bisnis, bank, mal, kantor pusat perusahaan multinasional, kantor-kantor kementerian, Kantor pusat bank, kedutaan besar, semuanya ada di Jakarta.
Daya tarik Jakarta pada pencari kerja amat besar. Hampir sepanjang hari ada saja kaum urban yang berusaha datang, mengadu nasib, berharap beruntung mendapat pekerjaan atau proyek kreatif yang memberi kesempatan untuk bertahan di rimba raya Jakarta.
Jakarta butuh sosok pemimpin yang peduli, bekerja cepat dan mampu menyerap aspirasi masyarakatnya. Masyarakat Jakarta itu multietnis. Ada Jawa, Batak, Bugis, Madura, Sunda, Ambon, Papua, Arab, China dan masih banyak lagi. Mereka memberi keberagaman, dalam percampuran budaya yang tidak bisa ditolak. Berbagai adat budaya yang dibawa memberi dampak positif juga negatif.
Orang Jawa yang lebih mengandalkan perasaan, tidak selugas orang batak dalam etika pergaulan. Kebudayaan Jawa memberi aturan-aturan tidak tertulis yang melekat dalam aturan kesantunan dan tata krama. Dalam hal tata krama serta karakter masing-masing suku berbeda. Dan itulah yang menjadikan seorang pemimpin menampilkan karakternya di mata masyarakat.
Orang Belitong, Pangkal Pinang, Batam berbeda karakter dalam hal sentuhan kepemimpinan dibanding dengan orang Jawa terutama yang lahir di pelosok kampung. Kebetulan Anies Baswedan cucu dari AR Baswedan yang baru saja diberi gelar kepahlawanan oleh Presiden Jokowi berkesempatan menjadi pemimpin Jakarta. Karakternya jelas berbeda dengan Ahok. Ia melakukan pendekatan kepemimpinan yang berbeda dengan pemimpin sebelumnya.
Sisi Politik Pemilu Jakarta dan Suksesi Kepemimpinan yang Kontroversial
Penulis mengamati bahwa sejak Anies Baswedan memimpin Jakarta semua kebijakan yang dilakukan oleh gubernur sebelumnya selalu ingin dihapus dari jejak sejarah. Berbagai program unggulan Ahok raib diganti oleh program yang lekat dengan Anies.
OKe Oce yang digagas Sandi terus ditonjolkan meskipun dalam pencapaian setahun belum mencapai hal yang diharapkan oleh rakyat Jakarta. (sebelumnya penulis pernah membahas bahwa salah satu kelemahan Anies adalah nilai-nilai humanisme yang melekat padanya).
Ia tersandera untuk menjadikan masyarakat menjadi tumpuan harapannya karena ia gampang iba. Ketika ia begitu membela rakyat Anies seperti ingin selalu menyindir gubernur sebelumnya. Yang suka bicara kasar, membentak-bentak pegawai, kemudian diliput dengan gaya bicanya yang meledak- ledak.