Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Kunci Toleransi di Tangan Guru

Diperbarui: 24 Oktober 2018   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: medium.com

Kasus kasus intoleransi yang merebak saat ini salah satu faktornya adalah pendidikan. Pendidikan ternyata belum mampu memberikan landasan bagi kesadaran siswa dan institusinya untuk menghargai perbedaan, terbuka menerima kenyataan bahwa Indonesia itu multi ragam budaya, suku, agama.

Pendidikan terutama yang berlatar belakang homogen yang semua siswanya beragama sama belum bisa menerima kenyataan bahwa ada pemeluk agama lain di Indonesia yang mempunyai hak sama untuk menjalankan ibdah menurut keyakinannya dengan nyaman, memiliki gedung untuk melaksanakan ibadatnya tanpa diganggu oleh upaya radikal mengganggu peribadatan keyakinan lain.

Menurut survei yang dilakukan oleh Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Syarif Hidayatullah sebagian besar guru di Indonesia intoleran terhadap pemeluk agama lain. PPIM  meneliti sekitar 2.237 guru. Hasil surveinya adalah sebanyak 63,07 responden mempunyai pandangan intoleran.

Survey tentang Guru yang Intoleran dan Kenyataan Tumbuh-Kembang Bibit Radikalisme di Masyarakat

Survei tentang guru yang intoleran menunjukkan betapa guru yang digadang-gadang menjadi corong dari pengetahuan serta menjadi andalan untuk kemajuan bangsa telah cenderung terjebak dalam sikap intoleransi yang menjadi bibit bagi radikalisme.

Contoh pertanyaan yang diajukan PPIM terhadap responden misalnya  "Non Muslim boleh mendirikan rumah ibadah di lingkungan bapa/ibu tinggal?" Hasilnya 56 persen guru tidak setuju dengan pernyataan tersebut. 

Padahal sebagai pengajar pikiran objektif tidak memihak sangat penting untuk mengajarkan pengetahuan secara independen. Guru menularkan ilmu berdasarkan pengetahuan empirik yang bisa di kaji lewat data bukan dengan perasaan dan subjektifitas.

Pengetahuan tentang agama-agama perlu diajarkan dengan pola ilmu sosiologis. Guru menjadi fasilitator dan penengah bagi anak didik untuk bersikap objektif terhadap berbagai kasus intoleransi dan radikalisme. 

Kalau guru cenderung radikal dan intoleran maka pendidikan nantinya hanya melahirkan generasi muda yang menutup diri dari kenyataan bahwa Indonesia dengan segala kemajemukannya adalah negara demokrasi, bukan negara agama. Negara yang menjamin kemerdekaan warganya untuk memeluk keyakinannya tanpa terganggu dengan intervensi agama lain.

Survey PPIM Mengatakan bahwa sebanyak 63,07 persen guru intoleran (sumber: youtube.com)

Indonesia dengan dasar Pancasila menjunjung tinggi toleransi, kebebasan berpendapat dan menjalankan ibadah dengan tenang. Kalau mayoritas guru seperti hasil survei dari UIN Syarif Hidayatullah itu cenderung intoleransi, tentu butuh campur tangan pemerintah dan keterlibatan masyarakat, pemuka agama untuk memberi pembekalan lebih lanjut kepada para guru betapa pentingnya menumbuhkan toleransi dan kesadaran bahwa mereka hidup di negara bukan homogen tetapi heterogen, dengan pola pemikiran, keyakinan, kebudayaan amat beragam. 

Kemampuan untuk menghargai perbedaan amat penting. Apalagi dengan tumbuh suburnya media sosial saat ini peran guru amat penting untuk membendung paham radikal bermukim dalam otak generasi muda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline