Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Ketika Berisiknya Koran Sebentar Lagi Tidak Terdengar

Diperbarui: 23 Oktober 2018   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

Hampir menjadi kebiasaan sejak dari kecil aku menunggu koran sebelum kaki melangkah keluar rumah. Paling tidak secara sekilas aku mengintip berita- berita menarik yang nantinya akan dibaca secara serius. Ketika masih tinggal di desa, ayah sempat langganan koran daerah Kedaulatan Rakyat dan Bernas. 

Jujur yang kubaca adalah tentang olahraga terutama sepak bola dan Basket, setelahnya berita tentang kriminal. Kolom-kolom yang saya sukai adalah kolom Umar Kayam yang berada di sebelah kiri kolom koran Kedaulatan Rakyat. Yang aku tunggu dari koran- koran itu terutama adalah cerpen Minggu. 

Saya selalu terpukau membaca cerpen dengan takzim. Meskipun sampai usia sekarang ini tetap saja susah menembus cerpen dalam skala nasional namun membaca cerpen-cerpen itu selalu ada motivasi khusus bahwa suatu saat aku bisa menyumbang paling tidak satu cerpen yang bisa menembus Koran Nasional semacam Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia. Jawa Pos. Republika. 

Lembaran Koran yang Akan Segera Menjadi Kenangan

Menjadi sedih ketika karena laju internet dan budaya digital telah menjadi produk budaya baru dan koran-koran konvensional dengan media kertas satu persatu tumbang. Terakhir adalah Tabloid BOLA yang sudah pamit akan mengakhiri masa penayangannya dan akan lebih fokus menggarap segmen digitalnya.

Rasanya tubuh tergetar jika membayangkan bahwa tulisan-tulisanku bisa terpampang di salah satu halaman di sebuah koran. Waktu itu sekitar 1997 masa di mana gejolak politik mulai nampak panas karena situasi ekonomi dan Indonesia tengah memanas. Aku sering menulis surat pembaca kalau tidak di Tempo, Bernas, Tabloid Detik(detak), Monitor.

Senang saja meskipun hanya berupa surat pembaca paling tidak ada kepuasan tulisan dan nama muncul di lembaran koran atau majalah. Aku masih menyimpan kliping surat pembaca itu dan sedikit tulisan yang dulu pernah muat di koran. Bahkan kwitansi dari media koran Jogja Bernas yang pernah memuat tulisan di halaman Opini. 

Selanjutnya secara rutin tulisanku masuk di majalah lokal Praba di Jogjakarta hampir setahun penuh sebelum aku bekerja di Jakarta sebagai guru dan meninggalkan gelanggang tulis menulis yang waktu itu sepertinya menjadi passionku.

Sensasi dari Berisiknya Kertas dan Bau Kertas

Koran, bau kertas, bunyi berisik lembarannya, tampilan foto-fotonya yang menginspirasi, kolom-kolomnya, akan selalu membuat rindu. Kini koran-koran mulai bertumbangan, tidak terbayang berapa ribu orang yang mulai berpikir untuk gantung rompi karena sepinya pembeli yang tidak lagi tertarik lembaran-lembaran kertas. Mereka lebih peduli pada layar gawai multifungsi.

Tumbangnya koran tentu merembet pada sejumlah kuli tinta yang banting stir, percetakan yang sudah mulai berpikir untuk menyingkirkan mesin-mesin cetaknya entah kemana. Mobil-mobil pengangkut koranpun mulai harus dihitung untuk dialihfungsikan. Dan orang-orang mulai jarang melihat pengecer, loper koran yang berkumpul pagi pagi buta untuk memilah-milah koran yang akan dikirimkan ke pelanggannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline