Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Bulir-bulir Keringat Ayah

Diperbarui: 20 Februari 2018   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: hiveminer.com

Menjadi seorang ayah mungkin tidak semulia pengorbanan ibu, tapi ayah yang baik selalu hadir dalam keluarga saat genting. Ia menjadi  penopang keluarga untuk bisa bertahan hidup dan tempat bersandar kala lelah. 

Tenaga terbagi antara mencari sesuap nasi dan memastikan istri dan anaknya baik-baik saja. Ayah tidak secerewet ibu yang bisa menumpahkan segala kekesalannya saat anak-anaknya tidak bisa diatur. 

Ayah hanya diam, sambil membaca, atau menonton tivi ia tidak ikut nimbrung menumpahkan kekesalan. Kesabaran menjadi modal utama untuk meredam kemarahan-kemarahan yang menghentak dada. Senyum dilebarkan untuk mengurai benang kusut jiwanya saat munculnya tekanan akhir bulan dan omelan sang istri yang mulai  kempes dompetnya.

Ayah akan tetap tersenyum meskipun pahit kehidupan telah memburai segenap pikirannya. Karena tekanan demi tekanan akan selalu terpanggul dipundaknya maka ayah sebisa mungkin diam sambil memutar otak. Jangan bayangkan keterdiaman karena kemalasan.Mungkin ayah sedang bingung bagaimana menambah tebal kantong ibu sementara pendapatan tidak beranjak cepat. Kadang begitu lelah merasakan berondongan omelan, tapi lebih baik diam daripada muncul perang dahsyat kehidupan rumah tangganya.

Begitu lelahnya ayah sampai-sampai ia hanya terbengong dan terduduk lesu dalam  gelontoran makian ibu. Ia tidak menyalahkan ibu hanya bingung, bagaimana lagi menambah pundi uang sementara tubuhnya semakin renta oleh beban berat kehidupan. 

Kalau ia pulang dengan tangan hampa sementara ia sudah bekerja keras mencari  bulir- demi bulir nasi ibu akan semakin keras membobardir  ancaman demi ancaman. Tapi lelaki pantang menangis, hatinya hanya menjerit menyaksikan kenyataan bahwa ia tidak berdaya mendengar keluhan,mendengar suara-suara yang membuat jiwanya kelabu tertekan. 

Ingin aku mengusap bulir bulir keringat ayah yang membanjir, demi menjemput rupiah demi rupiah serta seabreg harapan dari keluarga. Mata tajam ayah dan kerinduan -kerinduan yang tak terkatakan telah menggamit diriku dalam sebuah kekaguman akan perjuanganmu ayah.

Ayah, semakin hari semakin kurus. Mata cekung dan kulit mengering. Tubuhnya seperti lunglai menahan beban kehidupan yang ia tanggung sendiri. Mungkin ia tidak mau mengeluh, ia tidak mau terlihat sakit. Aku melihat ia hanya sering menyendiri, mengharap matahari lama masuk ke peraduan. Ia ingin menepi menciptakan puisi-puisi  kehidupannya dan mengenang kebebasannya yang telah lama terjajah. 

Ia ingin sekali- sekali bebas mengayuh sepeda kehidupannya, bermain-main dengan kesenangan-kesenangan masa kecilnya. Ayah yang selalu menjelajah malam, mengaduk-aduk lumpur pesawahan dan melompat dari batu ke batu sungai.

Dengan taksim ia memegang seruling, mempermainkan perasaan alam, dan menyesap angin senja hinggu nada-nada tinggi. Bersama alam ia menari mengikuti angin menggemuruh, ia ciptakan nada cinta dengan segenap jiwa. 

Aku tahu  hidup ayah dari catatan-catatan rapi yang tersusun di sebuah buku bergaris. Oh ternyata Ayah adalah penulis, pencatat kehidupan dan perenung. Aku tahu kini engkau berjuang keras untukku anakmu dan adik serta kakakku.Juga gelontoran omelan ibu yang teramat kecewa jika ayah pulang tanpa membawa kabar gembira.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline