Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Ini Yogyakarta dan Sultanku di Tahun 1990

Diperbarui: 7 Februari 2018   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sultan Hamengkubuwono IX | Dokumen istimewa

Nostalgia Yogya zaman dahulu

Tahun 1990-an. saya pernah tinggal di sana. Melihat derap kota pelajar dengan aktivitas seninya yang kental. Sematan Kota Pelajar masih relevan karena banyaknya perguruan tinggi serta pendidikan dasar serta menengah yang tersebar hampir di setiap sudut kota. Pun di daerah pinggir derap pendidikan terasa. Transportasi masih didominasi oleh kendaraan umum semacam Kopaja, Aspada, becak, andong, kereta. 

Saya masih leluasa menggowes sepeda pancal dengan nyaman, riang gembira. Sampai ke pelosok kota, mengelilingi njeron beteng, nongkrong di Alun-alun Selatan, Melihat gerebek Keraton di Alun-alun Utara jalan kaki, nongkrong di gedung seni sono melihat tingkah kocak seniman teater berlatih, seniman seni rupa dengan bebasnya nongkrong di sudut Kantor Pos melukis gedung tua yang berderet di Jalan Malioboro. Orang-orang yang berlalu-lalang pun masih saling bersapa. Nikmat benar. Maka agak lama juga saya menikmati derap kehidupan Yogyakarta yang kental nuansa seni budayanya.

Di warung HIK (Hidangan Istimewa Kampung) bersama teman berdiskusi tentang isu sosial politik dan guyonan waton ala Yogya). Kekuatan tradisi dan kesederhanaan jajanan membuat orang seperti saya yang berkantong pas-pasan aman, nyaman dan merdeka. Saya masih bisa ngutang ke warung dekat kos-kosan yang waktu itu cuma 150 ribu per tahun. Tapi ya nimba sendiri airnya dari sumur, isi sendiri kamarnya, dan listriknya yang penting bisa belajar.

Saya tidak perlu malu jika harus jalan kaki, karena banyak teman yang belum punya kendaraan. Dulu karena kuper atau minder jarang makan-makan di restoran dan berbau modern. Karena itu saya amat menghayati Yogyakarta yang masih sederhana, belum banyak hotel, belum banyak kendaraan pribadi. Sentuhan eksotika budaya itu adalah anugerah karena meskipun pekerjaan sekarang bukan seorang seniman tapi ingatan saya pada derap kehidupan seni begitu membekas.

Sebuah Hotel di Yogyakarta di sekitar Jalan Solo Atau Jalan Laksda Adisucipto tempat ini tahun 1990an adalah kompleks belanja termodern selain Malioboro (dok Pri)

Keraton, simbol kewibawaan, kehidupan mistis

Yogyakarta menyimpan banyak cerita tentang kehidupan "mistis". Cerita tentang keraton Yogyakarta yang penuh misteri (seperti yang dituturkan oleh teman, saudara, atau merasakan sendiri suasananya). Ada cerita-cerita metafisis yang susah dijabarkan dengan sudut pandang modern. Para pangeran, Sentono dalem, abdi dalem begitu mendalami ritual Jawa. Sentuhan budaya Jawa dengan aneka lampah prihatin dengan bertapa, berpuasa, berpantang, topo wudo (bertapa telanjang), mandi kungkum di pertemuan antar sungai, ngrowot (tidak makan sayur-sayuran), pati geni (menjauhi api), dan topo bisu. Meskipun Keraton Yogyakarta yang berbentuk kasultanan mayoritas Islam tapi pengaruh budaya kejawennya masih kental. 

Ritual yang kental nuansa kejawennya yang masih menghubungakan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, upacara-upacara yang mirip dengan apa yang dilakukan umat Hindhu masih ada dan menjadi salah satu daya tarik Yogyakarta. Orang asing lebih senang pada wisata unik yang tidak dimiliki daerah lain.

Di desa saya di Magelang Kenduri, wiwit masih sering dilakukan. Kehidupan relasi sosio budaya, agama masih amat harmonis. Dan maaf belum ada penduduk yang secara penampilan sangat kental menampilkan agama tertentu, yang berusaha menjauhkan relasi antar agama. Keharmonisan tampak terasa dari guyup rukunnya masyarakat saat gotong royong (istilah Jawanya: Gugur Gunung, sambatan).

Tidak perlu teriak-teriak mengingatkan tentang Pancasila nyatanya harmoni masyarakat masih kuat. Itu Yogyakarta zaman dulu. Tapi bibit-bibit fanatisme itu mulai datang, bahkan dari perguruan tinggi bernuansa keguruan. Banyak selebaran-selebaran yang terpasang di majalah dinding meski belum separah sekarang. Saya sendiri ketika itu, meskipun bukan muslim, selalu istirahat dan tidur di selasar masjid kampus.

Rumah Tuhan itu selalu terbuka kepada siapa saja yang ingin berteduh dan istirahat sejenak dari rutinitas belajar. Keraton masih berwibawa, mengayomi semua rakyatnya baik pendatang maupun penduduk asli. Suara gamelan dan suara-suara mistis yang terkadang secara tidak sengaja rajin mampir di telinga menjadi semacam kenangan yang akan dibawa para pelajar, mahasiswa untuk menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline