Pada dasarnya setiap orang senang berdiskusi, senang berdialog dan senang melakukan pertarungan kata-kata. Akhir -- akhir ini di media sosial (portal berita, facebook, Instagram, twitter) pertempuran itu begitu sengit. Ada beberapa kubu,netral, pendukung setia sang tokoh dan hatters tokoh tersebut. Yang netral berusaha mengambil jarak dan mencoba bijaksana dalam memandang masalah. Ada yang emosional dengan menempatkan diri menjadi pendukung salah satu tokoh penguasa dan yang kontra terhadap penguasa atau tokoh yang sedang dibicarakan atau berita yang dibahas.
Berita yang tengah menjadi trending topik dan mengundang perdebatan akan menjadi makanan empuk'Haters". Dengan jurus-jurus ganas dan kata- kata serapan "pasar" yang penuh dengan aneka satwa, umpatan preman berhadapan dengan pembelaan ala "orang pinter" dengan dalil- dalil teori dan jurus filsafat yang dikeluarkan. Tapi diskusi yang penuh emosi itu seperti menembus langit kesia-siaan karena pasti kontra akan selalu membuat drama kata-kata di media sosial itu seru. "ribuan" komentar itu akan masuk ke ruang maya dan seperti membangkitkan persepsi oh itu to dunia maya yang penuh gejolak.
Debat menjadi sebuah habit baru untuk menyalurkan hobi manusia yang memang senang berkonflik. Topikny ayng paling seru tentu dunia politik, terus gosip selebritis dan kemudian dunia olah raga terutama sepak bola. Perdebatan sosial politik dan hukum ditandai dengan menanggapi tulisan-tulisan dari penulis media sosial.
Tulisan itu di satu sisi mengundang decak kagum dan akhirnya menjadi penikmat setia tulisan-tulisan yang rencah di pikiran dan menjadi referensi akurat bila pembaca setia itu sedang kesal dengan situasi dan kondisi terkini. Mereka akan membaginya kepada teman-temannya di media sosial dan akhirnya menjadi perdebatan seru karena 'Haters" tentu saja akan turun gelanggang mengcounter Attact semua opini yang membela sang penulis. "Hatters" bisa saja masuk tanpa harus membaca artikelnya, cukup membaca judulnya lalu dihubung-hubungkan dengan persoalan sosial budaya, agama, ras sehingga suasana bertambah panas. Akhirnya nilai intelektual sebuah artikel tidak berarti lagi karena di kolom komentarnya sudah terjadi perdebatan yang kadang bisa diistilahkan "Jaka Sembung bawa golok;Gak Nyambung G*b**k. "
Baru-baru ini seorang tokoh media sosial yang amat fasih mengaduk-aduk emosi masyarakat media sosial diundang dalam sebuah debat terbuka di ruang nyata. Debat itu menjadi heboh karena katanya"Sang Singa dunia maya" demam panggung di perhelatan sekelas (ILC) di sebuah televisi. Penulis sendiri tidak mengikuti debatnya dan keseruannya seperti apa karena sudah lama tidak mengikuti perkembangan diskusi politik di televise.
Bagi penulis perdebatan di televisi sudah kebablasan sejak pilihan Pilkada DKI yang akhirnya membawa-bawa masyarakat terkotak-kotak dalam aksi dukung mendukung kandidat dan akhirnya suasana hati masyarakat menjadi terbelah. Penulis lebih sering menikmati keseruan oleh raga dan komedinya daripada perdebatan tingkat tinggi yang hanya menimbulkan emosi dan membuat tensi meningkat.
Ternyata mau tidak mau penulis harus mengamati pergerakan media sosial dan polemic-polemik yang hadir. Entah apakah polemic media sosial dan landscape perdebatan di televise itu merupakan cermin dari masyarakat yang tengah dilanda mabuk sosial, mabuk politik dan mabuk agama.Muncul gerakan gerakan massa dengan hadirnya demo-demo yang mengaduk-aduk emosi. Munculnya konflik antar penganut agama, muncul sentiment-sentimen yang menimbulkan suasana intoleran, saling curiga dan saling menyalahkan. Muncul selebaran yang menyudutkan salah satu agama. Konflik mayoritas dan minoritas.
Pergerakan debat itu menjadi kontra produktif dengan iklim global yang menuntut masyarakat harus cepat merespon perkembangan teknologi yang semakin canggih. Sementara negara lain sudah menghasilkan terobosan teknologi modern untuk mengikuti peradaban yang terus bergerak cepat, masyarakat Indonesia sedang terkagum-kagum dengan kecanggihan teknologi bernama gawai yang mampu memberikan ruang bagi mereka yang hobi berdebat, hobi bertarung dan menebarkan nilai-nilai negative media sosial.
Jujur Penulis sendiri seperti tersihir oelh magis gawai, magis aplikasinya apalagi penulis ingin eksis dan mengisi waktu kosong dengan menulis. Manifestasi dari hasrat menulis itu mau tidak mau menuntut untuk mengikuti perkembangan media sosial, menjadi pemerhati, pengamat dan surveyor dari isu-isu terkini yang bisa menjadi bahan untuk menulis. Kadang penulis sendiri harus berdebat dan berkonflik dengan keluarga akibat terlalu lama memagang gawai. Kadang gawai itu menajdi lebih berharga daripada kegiatan lain yang menuntut manusia untuk aktif menjadi manusia sosial yang harus berinteraksi secara langsung dalam komunitas Rukun Tetangga atau ruang sosial nyata lainnya. Sekarang banyak orang lebih sibuk dngan HP masing --masing menyisir berita-berita seru entah olah raga, debat seru tentang isu yang sedang trending topik dan tentu membaca komentar-komentar seru masyarakat dunia maya.
Dari ujung dunia satu ke ujung dunia lain. Seakan tanpa jarak padahal bumi itu amat luas. Internet memperpendek jarak dan membantu membangun komunikasi. Tapi efek negatifnya banyak karena manusia menjadi lebih individualis. Komunikasi menjadi hanya semacam basa-basi karena tidak pernah bertemu muka dimana interaksi kontak mata, kontak gesture tubuh dan tubuh yang seharusnya mampu membangun ikatan sosial riil.