"Tengadahlah ke Tuhanmu Tuhan kita, berkhusuklah lalu akan ku kirim kau ke Tuhan bersama ku yang telah kubalut tubuhku dengan bom. Satu ledakan cukup untuk mengantarmu tidur panjang". Begitulah ketika cinta kasih telah mengalahkan logika. Bukan keji tapi hanyalah sebuah dendam politik. Dalam hukum rimba bukan cinta dibalas cinta tapi dendam kesumat yang telah mengajarkan manusia untuk membalas nyawa dibayar nyawa. Aku tidak berani bermain dalam kecipak bahasa agama yang tinggi, aku hanya bicara dengan bahasa manusia, bahasa hati.
Mengapa bisa dengan dalih ajaran pilihan Hyang Tunggal melenyapkan manusia dalam sekejab. Dan di Indonesia apakah ada tanggapan spontan untuk melakukan unjuk keprihatinan atas kekejian manusia dengan mengatasnamakan agama. Ketika mata hati manusia telah gelap karena silau oleh kilau dunia politik, manusia lantas lalu mencecap anggur curiga bahwa PKI bermain dalam diri orang-orang yang sirik oleh tingkah agama.
Tetapi mengapa harus melempar kesalahan pada ideologi yang sudah ditinggalkan lama, tapi orang-orang yang "sok beriman" lantas mengutuk sosialisme berusaha menggoreng agama dan mereka marah karena agama telah menjadi kambing hitam kekejian manusia. Banyak orang menyembah agama, menyembah benda yang disakralkan.
Padahal yang sakral itu ajaran yang dilaksanakan dengan penuh kasih. Jika setiap agama menyesap inti ajaran kasih Tuhan tidak ada kejadian Gunung Sinai, tidak ada kejadian negara-negara berbasis agama harus berperang melawan saudaranya sendiri. Sudahlah agama itu hanya baju, hanyalah salah satu jalan untuk menyembah Tuhan dengan penyebutan berbeda tapi intinya Sama. Sang Hyang Maha Tunggal. Tapi ketika setiap jalan untuk mencapai kepercayaan itu harus diwarnai pertumpahan darah harus menyalahkan siapa?
Hati Nuranimu berbicara apa saat ada kekejian yang melampaui batas nalarmu.Kalau hati nuraniku hanya menangis, ternyata aku masih belum bisa mencecap inti ajaran kasih yang ada pada setiap agama. Ternyata aku masihlah kecebong diantara luasnya samudera, hanyalah rintik hujan di antara badai dan gempuran ombak besar lautan.
Tangis haru, rasa kehilangan dan bingung mewarnai jejak pembantaian ini, pada siapakah yang bisa mempertanggungjawabkan semuanya ini jika keyakinan telah dicampuradukkan dengan paham radikalisme yang memahami agama dengan cara ekstrem. Ah aku tidak bisa paham dan gagal paham mengapa antar pemeluk ajaran Tuhan harus saling membunuh hanya karena beda aliran, beda mazhab, beda tafsir.
Kalau aku masuk dengan membandingkan satu agama dengan yang lainnya aku takut menjadi provokator bagi kerukunan dan toleransi agama yang tengah digalakkan, jika sudut pandangku terlalu sombong untuk mengatakan keyakinan yang kuanut lebih baik aku akan semakin dibenci karena berusaha menyudutkan agama lainnya, tapi jika diam saja aku juga merasa salah karena ternyata aku tidak lebih dari kambing congek atau katak dalam tempurung yang tidak kuasa apa-apa atas segala kejadian di luar duniaku.
Apakah aku hanya diam menyaksikan saudara- saudaraku saling dendam dan saling menikam. Kenapa setiap ada peristiwa politik harus selalu dibawa-bawa masalah iman, keyakinan tapi saat keyakinan saling menikam kita bungkam. Bumi memang telah retak dan nurani telah hancur. ... sehancur manusia yang mempunyai kecerdasan tinggi tapi terbungkus oleh api dendam karena doktrin dan mashab telah mengalahkan logika.
Menjungkirbalikkan suara hati nurani. Aku yakin dalam setiap relung manusia ada suara-suara kasih tapi atas nama politik dan "paham radikal "yang lebih bergema maka manusia bisa memaklumi kebiadaban sebagai cara untuk mencapai tujuan. Ah aku gagal paham.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H