Ketika terdengar suara start aku seperti bermimpi tersedot dalam pusaran. Seperti memasuki lorong kabut hitam berseling putih, gelombang awan yang meliuk-liuk itu membuatku pusing. Kemudian diriku seperti terlempar dalam suhu udara yang berbeda lebih sejuk lebih dingin.Dan Finish datang menghampiri telingaku. Aku terpaku di tengah hamparan sawah, ladang pada suatu pedesaan.
1 Januari 2017
Kebetulan aku memasuki tahun 2017 di tengah hamparan sawah. Tidak sedang masuk suasana persaingan bisnis dan tengah masuk dalam era digital dengan ditandai manusia yang sedang asyik masyuk dengan gadgetnya. Di desa meskipun sudah mengenal HP namun suasana alami masih terasa. Manusia masih disibukkan dengan alam yang masih ramah menyapa. Aku tengah mengamati burung yang terbang bebas, menerabas ranting, mengepakkan sayap hingga menembus awan berarak, lalu turun lagi bertengger pada ranting kayu nangka. Aku membayangkan menjadi burung itu yang tidak lelah terbang. Kepak sayapnya menjuntai, meliuk-liuk dalam dekapan angin lembah. Mata burung awas melihat kelebatan makhluk kecil di bawah permukaan air. Dengan satu gerakan meliuk sudah kuterkam makhluk hingga menggelepar dalam cakar kaki ini. Segera aku terbang meniti awan gemawan lalu kembali menyisir rimbunan dedaunan bambu, sebelum akhirnya mendarat di pohon nangka yang umurnya sudah hampir seratus tahun.
Aku merasakan paru-paruku mengembung, dengan ringan membuat gerakan akrobat layaknya pesawat tempur F 16 buatan Amerika atau sejenis Sukhoi yang berlisensi Rusia Negara Presiden Putin, dan tokoh sosialis kiri Stalin.Tapi jika bicara Uni Soviet atau Rusia aku lebih suka membicarakan Anton Chekov atau lebih senang melihat gerakan meliuk indah saat mengayunkan raket tenis dari Maria Sharapova.
Aku seekor burung yang mengandalkan latihan, latihan dan terus latihan untuk meningkatkan kegesitanku melayang-layang di langit.
Burung Pipit terbiasa terbang rendah mematuk bulir-bulir padi dari hamparan sawah menguning. Partitur lagu yang tercipta dari simponi alam membuat kedamaian terasa agung, aku tidak ingin beranjak menjadi burung gereja yang hidup dalam kolong-kolong bangunan tua, yang menua oleh debu-debu yang menempel dari kesibukan kota yang penuh peluh, penuh nafsu, penuh rengekan kemunafikan dan ujaran-ujaran kebencian yang siap meledakkan perpecahan diantara makhluk yang tercipta di bumi ini.
Aku burung pipit terbang menyusup sela-sela pepohonan rindang diantara hamparan daun-daun durian, rambutan, albasia, waru, nangka dan nyiur pohon kelapa. Terkadang aku terbang rendah di antara pesawahan hijau menguning. Dan anginpun membawa kesegaran sampai ke sudut sukmaku. Itulah suara alam, bukan bangkai-bangkai bangunan serta tumpukan sampah plastik menggunung yang menghantarkan aroma campur baur dalam penyakit yang meruar sepanjang hari.
Melihat dari atas, dari langit biru petakan sawah dan gerumbul tetumbuhan bagaikan lukisan abstrak dengan pola geometris yang menampilkan keseimbangan warna, harmoni irama garis dan repetisi-repetisi visual yang alami. Itulah kebesaran ciptaan Yang Agung. Dari mata burungku yang terbang rendah itu aku menangkap sebuah pesan bahwa alam masih mampu bernyanyi merdu dalam rampak irama waktu. Entah kapan, suatu saat alam akan tercacah oleh kejinya manusia yang akan menyesap alam hingga rusak.
Manusia itu makhluk cerdas, cerdik sekaligus licik. Mereka bisa menciptakan benda-benda yang membuat mereka terhubung dengan dunia dalam waktu singkat. Mereka bisa membuat benda terbang bahkan tanpa awak, membawa kamera, merekamnya dan menayangkan pada benda datar atau dicetak sangat besar. Apa yang tergambar dalam layar mataku bisa terjadi dan manusia bisa menampilkan gambar dengan amat detil, sedangkan aku si burung kecil hanya menikmati alam dengan panoramanya karena naluri dan tuntutan perut.
Alam yang indah di bawah bisa saja dalam waktu cepat berubah. Bukan lagi hamparan sawah, berganti petak-petak rumah dan akhirnya membuat bumi semakin panas dengan desakan nafsu manusia membangun komunitas dan melupakan alam semesta. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan bumi ini 30 atau 40 tahun lagi. Manusia tentu tidak bisa lagi mengandalkan alam. Otak merekalah yang harus bekerja untuk bertahan di atas permukaan bumi yang semakin meranggas dan jauh dari subur. Habitat makhluk sepertiku akan semakin punah, dan tinggal cerita yang tersemat di sederetan novel ciptaan manusia yang menggambarkan diriku masa silam.
Kepak sayapku cekatan meliuk-liuk, melambai - lambai dari nukilan pemandangan ke pemandangan lain. Kilatan air yang tersorot matahari memantulkan cahaya kemilau, aku teringat dengan benda berharga berlian yang mengerjab-kerjab oleh Kristal-kristal geometris yang tersorot cahaya. Benda itu akan berbinar -- binar sombong karena hanya dengan kerlip-kerlip hidup setiap mata terutama manusia dapat memancarkan cinta, tapi bisa menyiratkan kejahatan yang tersembunyi dari sorot iblis.