Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Semakin Canggih Internet, Buku Tetap Favorit

Diperbarui: 17 Mei 2017   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                        antara membaca di internet dan buku koleksi (vavai.com)

Boleh dikata sekarang ini jamannya internet. Di mana-mana orang menenteng smartphone, membukanya dan dengan gesit menyentuh layarnya dan mengetik. Terbukalah layar dunia beserta informasi, gambar, video dengan cepat. Dunia dalam jangkauan tangan. Mulailah gaya baru manusia menerjemahkan hidup. Tidak perlu susah payah datang k e toko buku, tidak perlu susah payah merogoh kocek, cukup,pegang Gadget, selalu siap dengan koneksi internet, siapkan selalu budjet kuota dan anda akan tersedot dalam pesona dunia maya. Hal ini yang membuat anak-anak generasi milenial memandang sebelah mata buku. Buku yang sekarang ini dipajang di toko-toko buku mulai ditinggalkan. Generasi penggila teknologi itu lebih memilih duduk sendiri, entah di sudut taman, di mal, di kafe-kafe yang bertebaran di kota bahkan di angkringan. Manusia-manusia(termasuk saya juga), asyik menyelam ke dunia maya, menmui teman-teman yang hiruk pikuk mengobral kata di facebook, ngetwit, memasang foto di Instagram, atau mengirimkan meme-meme lucu, serta cerita bomabstis di whatshapp. Untuk menikmati novel, buku tidak perlu capai cukup buka wattpad, langsung menikmati ribuan ceritanya.

Ah, ternyata manusia telah dikendalikan teknologi,banyak yang terjebak dalam sihir gadget tersebut sampai tidak peduli dengan alam sekitar, dan tentu juga lalai untuk menjaga kesehatan pribadi. Bayangkan saja di facebook dengan beraninya mansuia yang katanya terpelajar memaki presidennya sendiri dengan kata-kata yang rasanya tidak pernah diajarkan di bangku sekolah. Itulah produk modern yang sering melupakan etika menulis, etika sopan santun dan etika bahasa.

Buku simbol peradaban

Buku, bagaimanapun juga adalah simbol peradaban, simbol pembelajaran untuk mengajarkan manusia akan pentingnya memilih kata-kata, menyeleksinya hingga mencapai target yang diinginkan agar layak dikonsumsi umum dengan menyaring ujaran yang beradab, menyaring kata  yang tidak layak dikonsumsi publik dan simbol sebuah usaha tekun manusia. Buku, bagaimanapun sebuah proses kreatif. Bisa menulis buku tentu butuh seleksi, butuh riset, direktori, pengeditan, butuh referensi untuk sampai naik cetak. Buku tentu bukan perkara kata-kata spontan. Pada kata-kata yag berderet itu ada sejarah panjang yang membuat buku adalah simbol usaha manusia.

Meskipun internet semakin canggih dan bisa saja menikmati buku lewat e-book, mengkoleksi buku, menderetkannya di ruang keluarga atau ruang kerja di rumah adalah sebuah pencapaian tersendiri. Dulu ketika saya masih  sering pindah-pindah kontrakan barang yang paling merepotkan adalah buku. Koleksi buku saya itu harus dimasukkan ke kardus(berdus-dus bahkan….) Kalau barang lain bisa diloakkan untuk buku bagi saya maaf mengkoleksi buku dan membacanya adalah sebuah ritual. Bahkan majalah-majalah bekas, lama, ataupun kliping-kliping cerpen dari Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia, terus dibawa dan dimasukkan dus. Duh kelihatannya seperti mendewakan buku tapi begitulah kenyataannya. Dunia buku itu itu seperti candu dan say tidak akan pernah melupakan jasa buku. Semakin mencintai dan menilik kata-katanya rasanya semakin bodoh, karena ternyata banyak hal yang belum diketahui setelah membuka lembar-lembar buku. Setiap buku mempunyai keunikannya tersendiri, setiap pengarang punya kekhasannya tersendiri.

Tetap buku yang terbaik

Di rumah di kantor buku itu berserak memanggil untuk ditilik dan dibaca. Jadi meskipun sudah ada internet, sering berselancar, menilik facebook, membaca kompasiana, detik Tempo.co, Indonesiana, selasar, Kumparan, seword. Buku tetap harus dikoleksi karena dari bukulah pendaran pengetahuan bisa diukur dan bahasa-bahasanya bisa ditelaah lama, diulang-ulang tanpa merasa takut akan kehabisan batere, atau takut kuota internet habis.

Tulisan Radhar salah satu favorit bacaan yang sering saya baca berulang ulang (bukalapak.com)

Hari ini adalah hari buku,  diantara deretan buku ada beberapa buku favorit yang terus saya baca dengan bosan-bosannya antara lain dalam Sebotol Coklat Cair, kumpulan cerita dari Radhar Panca Dahana dan sejumlah esei-esei seni(penerbit Koekoesan), Bukuku Kakiku, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama(437 hal) . disitu pemikiran, St Sularto, John Parapak, Melanie Budianto, fuad Hasan, Jacob Oetama, Remy Silado, Sindhunata,Minda Perangin Angin,Ajip Rosidi,Ariel Haryanto, Azyumardi Azra dan masih banyak tokoh lain yang menyumbang tulisan menjadi semacam referensi penting bagi pilar berpikir saya. Membaca tulisan mereka seperti membaca Indonesia, membaca relung meditative bangsa ini yang sekarang ini tengah terbelah dalam polarisasi kebangsaan. Sungguh mengenaskan lagi jika membaca survey bahwa Indonesia pernah mencapai peringkat kedua terburuk dari 62 negara sebagai masyarakat yang paling rendah minat bacanya dan belum terbiasa dalam budaya literasi.

Salah satu buku favorit yang mesti dibaca berulang-ulang (bukalapak.com)

Maka, perlu ada kampanye untuk menggalakkan dunia literasi, mengenalkan generasi muda untuk mencintai buku dan menghargai proses pembuatan bukunya. Buku itu adalah jendela dunia. Dari buku wawasan manusia akan terbuka dan tidak akanm udah termakan isu. Pada mereka yang senang membaca, telaah kata, pengungkapan rasa dan reaksi terhadap isu, kasus yang menjadi viral tidak akan dimakan mentah-mentah. Semuanya akan ditelaah dulu, dipikirkan dengan logika dan dengan cara bijak kaum penyuka literasi akan menanggapinya tanpa meledak-ledak. Sebab emosi para pembaca buku tentu akan lebih stabil daripada mereka yang biasa spontan membuat kata-kata yang memancing emosi.

Selamat Hari Buku Nasional, semoga buku yang diterbitkan dan ditulis oleh para pengarang, penulis dan pecinta dunia literasi selalu mendapat tempat dihati pembacanya, dan Indonesia tidak mudah terprovokasi oelh kata- kata sampah, yang keluar dari cuitan di media massa. Bagaimanapun buku tetap akan hadir di meja pecintanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline