Osip Mandelstam, pernah mengatakan bahwa membaca puisi yang bagus itu seperti melakukan latihan pernafasan. Ia mengatakannya ketika membahas sajak-sajak Boris Paternak yang jernih dan sederhana(Beberapa patah kata di buku Puisi Tak Pernah Pergi penerbit buku Kompas, kumpulan puisi Bentara 2003)Hasif Amini. Saya mencoba merasakan dan memahami beberapa puisi yang saya baca hampir berulang-ulang. Kumpulan puisi dari kumpulan sajak-sajak Bentara 2003.Buku lama yang membuat saya terus mencoba menarik nafas, pelan dan dalam. Dan dalam setarikan nafas itu saya mencoba beberapa larik puisi dari beberapa penyair seperti Endang Susanti Rustamaji mencoba memahami kata-kata yang tertulis untuk menggambarkan suasana tempat dipadukan dengan tarikan nafas serta desah sunyi Taman Suropati.Iya puisi yang baik itu seperti memberi ruang kita untuk melakukan meditasi, mengolah rasa, nafas, jiwa. Saat sunyi atau keadaan yang membuat suasana menjadi sunyi adalah ritual meditasi yang memberi kekayaan bathin. Penyair sudah memilah kata-kata yang senafas, sejiwa dengan berondongan kata yang tercipta menjadi baris demi baris kata.
…tak berdaya Menonton dan ditonton, kapan saja saat energi terasa habis. Keletihan begitu kejam menikam-nikam. Menyihir keinginan kita. Terdiam diledek dengus. Musim. Gelisah terhanyut galau suasana…(Ketika Senja Hari Menyinggahi Taman Suropati) ritual kata dalam suasana hembusan nafas itu menarik dirasakan. Penyair adalah penikmat kesunyian, pemilik alam semesta. Mencipta puisi bukan sekedar menterjemahkan emosi, tapi merasakan suara alam, merasakan kegundahan, meresapi tarikan nafas, kegundahan-kegundahan di setiap lorong masa.
Maka banyak penyair melahirkan puisi atau sajak saat gelisah, terbata-bata dalam masa yang tengah galau, oleh ketidakadilan, ketimpangan – ketimpangan sosial, kebengisan mazhab, kegilaan – kegilaan politikus, pornaaksi yang melibatkan kaum intelektual, agamawan yang melacurkan diri dalam sebuah bangunan bernama partai politik.
Bunyi, ritmis puisi adalah memuntahkan kegalauan akan suasana aneh yang masuk dalam tarikan nafas penyair, dimasukkan dalam aliran darah, dilemparkan ke sistem syaraf dalam jutaan sel-sel di otak dan dimuntahkan kembali melalui darah menyentuh syaraf tangan dan menjadi deretan kata, barik, lirik, rima, pun terciptalah sajak puisi.
Dari masa ke masa puisi terus hadir memotret kesunyian, memotret kegilaan, menyesap ritual bumi yang tergagap-gagap dalam eros dan terkintil-kintil dalam ego-ego manusia. Saya ingat puisi- puisi Sutardji Calzoum Bachri, barisan kata-katanya memuntahkan hembusan ritmis, seperti suara alam berulang-ulang, seperti suara tongkeret, zikir, rapalan-rapalan dan litani yang membuat nafas ditata menghasilkan irama yang membuat suasana meditatif amat terasa, demikianlah kesunyian berpadu dengan semburan puisi ritmis.
Akan berbeda memahami puisi Sapardi Djoko damono. Tetap dalam kesunyian tapi kata-katanya seperti menyihir perasaan sayang, cinta entah pada kekasih, entah pada sesama manusia, pada alam semesta dan hembusan cinta universal.
Dan bagi orang yang berpikir sederhana dan puisi Joko Pinurbo lebih mengingatkan pembacanya pada peristiwa sehari-hari, ruang yang dekat dengan kehidupan ia potret dan ia ciptakan puisi menjadi sebuah karya luar biasa. Ranjang, celana, buku, tubuh adalah sebagian imajinasi dari Joko Pinurbo. Dari kesederhanaan obyeknya dalam suasana keseharian manusia lahir puisi-puisi yang bisa dikatakan jenaka, nakal, menggelitik tapi juga mengena karena ruang imajinasi pembacanya tidak perlu mengerut tajam mencari padanan kata yang tak lazim yang sering muncul dalam puisi.
Nikmatilah puisi yang sering lahir saat sunyi, saat manusia rindu, saat putus asa, gelisah, galau dan saat cinta menyergap rasa.
Kesunyian adalah sahabat, kesepian adalah kedalaman makna dan puisi tetap memberi kekayaan bathin pembaca.