Media yang pas untuk Jurnalisme warga
sekitar tahun 2006 saya mengenal blog dalam sebuah situs internet. waktu itu saya tidak tahu akan ada situs internet yang berbasis jurnalisme warga. Saya pernah rutin menulis, hanya untuk organisasi yang kebetulan saya ikuti dan kebetulan skalanya internet. Untuk merealisasikan warta organisasi maka saya perlu menuliskannya dalam bentuk blog terbatas untuk kalangan sendiri. Mulailah saya sering pergi ke warnet selepas pulang kerja. Selama hampir satu jam saya menulis dan melakukan getok tular informasi lewat internet. Ada kesyikan sendiri menjadi jurnalis abal-abal lewat internet. Sebelum ada detik, Kompas.com dan situs dunia maya saya sebetulnya sudah pernah aktif menjadi penulis.
Menulis itu sebuah kegiatan menyenangkan malah saking menyenangkan kadang saya lupa bahwa pekerjaan utama saya bukan penulis, saya itu seorang guru. Laju menulispun tetap lancar sampai saat saya memutuskan mengakhiri masa lajang dan masuk dalam dunia nyata sebagai suami dan sebagai ayah sekitar tahun 2007. Pada periode menjadi suami baru dan ayah baru, kesibukan saya akhirnya membuat jarak dengan dunia tulis menulis, saya hanya sesekali menulis dan tidak pernah bisa rutin menulis. Kesibukan sebagai suami baru dan ayah baru telah menyita, perhatian, konsentrasi dan hasrat dalam menulis. Ini mungkin alasan dibuat-buat bagi seorang penulis yang seharusnya dalam segala kondisi tetap harus menyisihkan waktu untuk menulis.Kenyataannya sejak menikah saya memang otomatis surut intensitasnya dalam menulis. Kalaupun menulis itu hanyalah sekedar permenungan, keluh kesah dan kekagetan-kekagetan yang terjadi saat sebelumnya menikmati masa lajang dan harus masuk dalam dunia perkawinan yang harus kompromi antara suami dan istri, apalagi sejak hadirnya anak dan kebetulan keluarga baru kurang memahami dunia tulis-menulis. Ini menjadi tantangan, untuk tetap hidup dalam harmonisnya rumah tangga tentu setiap orang harus mengorbankan ego, keinginan yang akan mengganggu utuhnya keluarga. Maka saya menulis hanya saat ada di kantor(padahal di kantor seabrek pekerjaan menanti dan kesempatan menulis rutin tentu langka).
Menulis itu konsisten dan pantang menyerah
Saya itu mempunyai tipe mudah bosan, mudah kendor dan kurang struggle saat harus mengejar keinginan. Padahal dari dulu cita-cita menjadi penulis itu terus bergema dalam alam bawah sadar saya. Jadilah saya hanya menjadi pembaca, pembaca dan pembaca. Mengumpulkan buku, meskipun jarang saya baca secara utuh, terus berkhayal agar selalu menghadirkan semangat untuk bisa menulis, menulis dan menulis. Ketika saya menulis rasanya saya sudah merasa bisa dan piawai dalam menulis(Ternyata itu sebentuk kesombongan yang membuat langkah menjadi penulis tersendat), Ternyata rimba kepenulisan itu amat luas. Saya akhirnya mengenal tulisan-tulisan di blog yang berbeda dengan tulisan dari media mainstream. Waktu itu saya terobsesi untuk menulis di opini kompas dan sempat mengirim ke redaksi tapi, masih ditolak dan diberi surat dari redaksi untuk terus menulis tak tak boleh putus asa. Mungkin karakter saya memang bukan seorang penulis tangguh, saya lebih merasa patah arang dan jarang mencoba mengirimkan naskah ke Kompas. Pada tahun 2010 secara iseng saya membuka-buka internet dan kebetulan melihat tulisan-tulisan dari Kompasianer. Wow, ternyata menulis di Kompasiana itu lebih cair, tulisannya santai tanpa perlu memikirkan serius 5W+1H. Kemudian saya iseng untuk mendaftar dan melakukan registrasi.
Sekitar 28 Januari 2010 akhirnya saya tercatat menjadi Kompasianer. Sejak saat itu saya rutin menulis. Melihat tulisan-tulisan dari kawan-kawan kompasianer saya merasa ternyata saya masih harus banyak belajar dalam menulis dan menemukan angle yang pas dalam menulis yang menarik dan membuat kepincut admin. Saya serasa sudah menjadi penulis dan yakin bahwa suatu saat tulisan saya akan "dilihat". Ternyata Kompasiana itu adalah rimba yang menggonjlok penulis untuk menjadi seorang penulis yang diperhitungkan. Sudah banyak penulis Kompasiana yang akhirnya terkenal dan menjadi penulis"Beneran". Saya mengenal Omjay yang akhirnya berkibar dan sangat terkenal sebagai penggiat media blog dan pembicara laris dalam event-event kepenulisan, Dari jauh saya juga menulis Akang Pepih Nugraha sang COO Kompasiana.
Saya bisa gratis menonton di bioskop premiere, menghadiri Kopdar di Hotel Santika, makan -makan di Kafe dan mendengarkan obrolan menarik seputar menulis dan aktifitas blogger. Bahkan yang membuat terkaget-kaget saat saya iseng membuka mesin pencari dan mengklik nama saya. Sederet tulisan saya yang ada di Kompasiana bahkan pernah dikutib bahkan dimanfaatkan situs berita untuk ditampilkan dilamannya. Itu gara-gara Kompasiana.
Ternyata Kompasiana bisa mendongkrak seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa menjadi dikenal dan bisa dilacak di cari di mesin pencari. Saya mungkin penulis yang beruntung tapi tidak juga bernasib baik. Yang bernasib baik bisa melangkah maju menjadi penulis profesional dan menjadi motivator aktif dan menjadi pembicara. Saya masihlah guru yang kadang merasa sunyi sedih saat tulisan hanya dilirik oleh beberapa pembaca dan diberi nilai oleh hanya segelintir kompasianer.
Tahun Aktif Menulis
Meskipun tulisan saya sudah ratusan saya merasa itu belumlah pencapaian yang fenomenal, saya masih penulis dengan nafas pendek yang kadang timbul tenggelam dalam dunia kepenulisan. Tapi bagaimanapun saya masih setia menulis sampai saat ini. Kalau umur Kompasiana 8 tahun saya hampir tujuh tahun nanti di tahun 2017. Rentang 8 tahun itu sudah banyak penulis datang dan pergi dan saya masih setia. Kerumunan penulis itu dan mereka yang menonjol tiap tahunnya itu adalah proses alamiah. Ada yang berprestasi, ada yang tetap setia meskipun prestasinya biasa-biasa saja(termasuk saya berangkali).
Saya berterimakasih kepada admin, berterimakasih kepada teman-teman kompasianer yang menjadi rumah besar bernama kompasiana. Berkan warga setia Kompasiana semakin besar dan diperhitungkan. dari jamannya Katedra, sampai Asaaro Lugahu, dari Akun no name yang ogah dikenal dan selalu menulis provokatif dan beda dengan suara mayoritas Kompasiana sampai Imam Prasetyo yang selalu mengobarkan perang komentar seru. Sayangnya saya bukan penulis kontroversi, maka tulisan sayapun terasa biasa.