Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Sinetron... Mimpi... yang Mengawang-awang

Diperbarui: 21 Oktober 2015   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Konflik di sinetron kebanyakan terlalu hiperbolis. Banyak potret kehidupan yang sebenarnya ingin terwakilkan di alur cerita sinetron, namun nyatanya alur ceritanya banyak yang akhirnya menyimpang hanya demi permintaan pasar, publik share, rating, dan kue iklan yang menggiurkan. Sinetron kejar tayang terutama akhirnya banyak mengorbankan logika, menjauh darirealita dan akhirnya cuma mengawang-awang... seperti mimpi yang tidak pernah tergapai...Drama sinetron menyuguhkan kebodohan-kebodohan tokoh protatonis, keberuntungan-keberuntungan antagonis, ketololan protagonis, kecerdasan antagonis memainkan emosi pemirsa. Bullying terus berlangsung untuk protagonis seakan- akan orang baik tak pernah mendapat kesempatan untuk beruntung, punya akal, punya kuasa untuk menangkis serangan licik antagonis. Protagonisme menjadi catatan pilu kehidupan di mana setiap hari orang yang berada dijalur kebenaran akan selalu tidak beruntung karena kebetulan yang culas, licik, punya kuasa, punya otak binal yang susah tertaklukkan. Sebab konflik terus berlangsung karena yang lemah selalu teraniaya karena tidak punya nyali untuk melawan, atau pasrah pada perputaran hidup yang menuntut manusia pasrah dan menyukuri kehidupan, menyapa selalu masalah, menyesap sari-sari kehidupan.

 

Apa yang sebenarnya ingin disisipkan sinetron untuk pembelajaran hidup pemirsanya. Bukankah sinetron itu cuma menjual mimpi tanpa ada pembelajaran yang bisa dipetik untuk masa depan negeri ini. Sinetron hanyalah sebuah hiburan yang didalamnya termunculkan tokoh protagonis yang selalu sial. kalah kuat dengan antagonis, kalah beruntung, kalah garang, kalah cerdas. Tapi selalu saja ada pemirsanya karena market sharenya bagus iklanpun mengiring dibelakangnya.

akan berbeda dengan diskusi- diskusi dari para pengamat, para tokoh pejuang kehidupan, para pengusaha muda, para inspirator  penggerak roda pembangunan. Saat prime time ditayangkan bisa dibayangkan ratingnya, kebanyakan jeblok, tapi lain jika wawancara itu dikemas dengan sedikit kontroversi, dibumbui dengan isu-isu yang mengaduk emosi pemirsa tentu lain ceritanya.

Sebagai salah satu penonton, terkadang saya miris dengan tawaran cerita kebanyakan sinetron...banyak konflik yang terlalu dibuat-buat. hingga memunculkan kebosanan luar biasa. Ceritanyapun sengaja diulur-ulur agar pemiisanya terus memelototi televisi dan penasaran dengan cerita selanjutnya. Bahkan ada sinetron yang bertahan sampai 3 tahun lebih di mana konflik yang dimunculkan akhirnya mengalami titik jenuh, tapi anehnya lagi tetap saja ada pemirsa yang menonton.

Media televisi sangat cepat mengubah budaya, sangat efektif sebagai media promosi, sangat cepat merusak sendi-sendi moralitas pemirsanya kalau tidak diikuti oleh idealisme kuat bahwa tayangan televisi hanyalah hiburan semata bukan Tuhan, bukan guru yang harus di gugu dan ditiru. Setiap anak yag menonton televisi harus didampingi agar tidak terjebak pada perilaku hedonisme yang diperlihatkan tokoh dalam cerita sinetron. Tidak perlu meniru watak licik antagonis yang cenderung membully protagonis, tidak perlu harus merngikuti pola tingkahlaku tokoh idolanya jika itu hanyalah cerita rekaan tidak nyata dan hanya mimpi saja...!

Sayang banyak televisi malas membatasi batas usia pemirsa yang boleh menonton atau tidak, akhirnya banyak remaja tanggung, generasi muda harapan bangsa terlibat selalu hidup dalam konflik kekersan, permusuhan dan lingkaran setan premanisme. Salah satunya mungkin akibat tayangan televisi yang tidak mendidik dan yang hanya menawarkan mimpi-mimpi sehingga anak muda  tanggung itu ingin mencicipi produk modern, produk hedonisme yang ditawarkan hingga memaksa diri melebihi batas kemampuan ekonomi keluarganya. Karena tidak terdukung maka mereka banyak melakukan pemalakan, pencurian, perampokan, dan menjadi penjahat-penjahat kecil yang meresahkan warganya.

Media televisi, media sosial, gadget, alat komunikasi modern telah mengubah sisi humanisme warganya, banyak kasus kekerasan, paedofilia,  pemerkosaan,pembunuhan sadis, Narkoba, aksi premanisme bermula karena kekuatan moral, mentalitas generasi muda dan generasi sekarang rentan terhadap pengaruh alat canggih yang notabene cukup mahal. Sudah saatnya setiap generasi muda sadar untuk membentengi diri dengan iman yang kuat, kesadaran kuat untuk tidak terpengaruh pada budaya yang menyesatkandan tentu saja keluarga selalu kompak untuk menagkal setiap pengaruh buruk lingkungan sekitar dengan memperkuat kekompakan dan perhatian lebih dari tiap anggota keluarga. Peran ayah dan ibu penting untuk menangkal pengaruh buruk media, peran keluarga penting untuk menangkal generasi muda terjerumus pergaulan tidak sehat.

Sumber gambar:ec.europa.eu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline