Ada banyak tipe orang yang sebenarnya kesepian meskipun berada di tempat yang ramai. Meskipun hidup di lingkungan yang ramai dan hiruk pikuk tapi sebenarnya rasa sepi itu terasa jauh dalam hati setiap manusia. Saya sendiri meskipun hidup di Jakarta kadang merasa sepi dan tidak punya teman saat banyak orang tidak mengerti apa yang saya mau. Banyak teman merasa mengerti dan banyak orang merasa berhak mengatur kehidupan orang, padahal sebenarnya banyak yang tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hati seseorang.
Dulu saya termasuk tipe orang yang bebas, sering bepergian dan sering blusukan ke alam setelah tidak aktifitas belajar. Saya termasuk orang yang tidak suka curhat atau bercerita masalah pribadi ke teman. Di saat galau saya cuma ingin melangkahkan kaki menyusuri keheningan alam, nongrong di tepi sungai deras dan meresapi gemuruh air derasnya. Kalau perlu saya ngobrol dengan alam dengan bahasa bathin saya, atau kalau suasana sepi tapi suara air terdengan keras deburnya saya berteriak sejadi-jadinya untuk membunuh kesepian.
Kesepian itu milik semua orang, saya pikir tidak ada orang yang tak pernah merasa kesepian. Kesepian itu bagian dari hidup. Saya pernah merasakan dan sampai sekarang di saat-saat tertentu juga masih sering merasa kesepian. Saat kesepian itulah saya sering lebih banyak membaca, lebih banyak duduk untuk memperhatikan kata demi kata. Saya merasa ada teman berbincang karena seperti masuk dalam alam bacaan tersebut. Banyak artikel di media yang mengulas tentang rasa sepi, kesepian dan efek negatif perasaan sepi yang menghinggap manusia atau makluk hidup.
Ada ketakutan sendiri saat sepi menghinggap karena ketika kayalan datang, penghandaian datang kadang-kadang membuat jiwa dan perasaan terserap untuk bertindak bodoh. Banyak kasus bunuh diri di mulai dari rasa sepi, merasa ditinggalkan, merasa tidak ada teman yang mengerti siapa dirinya. Hal tersebut juga saya rasakan. Ketakuatan itu muncul dengan pengandaian-pengandaian melankolik, terkadang tragik. Saat masih membujang dulu kesepian itu muncul karena belum punya pasangan hidup yang bisa diajak berbicara atau curhat tentang masalah-masalah pribadi. Sepi yang meletup-letup kadang membuat energi terbuang dan akhirnya jatuh sakit. Karena tidak ada teman dialog rasa sepi itu menjadi hantu yang menakutkan.
Menulis catatan-catatan harian di buku tulis
Persoalan sepi itu menjadi masalah trersendiri bagi saya, untuk tipe saya yang tidak suka curhat saya hanya bisa mengeluh dengan membuat catatan-catatan ringan di buku tulis. Itu saya mulai sejak SMA. Sebetulnya saya sudah berkarib dengan bacaan sejak SD dengan membaca buku-buku tipis seri perpustakaan untuk SD Negeri tempat ayah saya atau ibu saya yang seorang Guru Negeri. Kebetulan Ayah Saya juga menyukai cerita-cerita buku berseri semacam Api di Bukit Menoreh, Hijaunya Lembah, hijaunya Lereng Pegunungan masih karya SH Mintardja, bahkan usia kelas 2 SD saya sudah mengenal buku cerita Silat Klasik buah karya Asmaraman S Kho Ping Ho. Semakin besar saya juga menyukai karya karya petualangan seperti Lima Sekawan karya Enyd Blyton. Saya mengenal buku –buku itu juga karena rasa sepi yang saya rasakan karena tidak terbiasa berdialog secara frontal. Saya sering mati gaya jika lama-lama berdua dengan seseorang. Keseruan cerita-cerita petualangan atau cerita silat dan novel-novel melankolis menjadikan saya amat peka dan punya keinginan kuat menulis. Tapi punya catatan yang tersebar tapi karena saya bukan tipe kolektor dan tidak rapi catatan-catatan tulisan itu entah ke mana sampai sekarang.
Saya sering membaca koleksi-koleksi saya yang saya tulis dengan ballpen. Ada cerpen, ada cermin ada catatan renungan, ada catatan yang berisi curhat dan rasa sepi yang menyergap. Saya melihat banyak novelis, penulis, essay hidup akrab dengan rasa sepi. Bahkan anda yang bergiat di media social, sangat aktif memelototi gawai mungkin salah satu orang yang merasa kesepian. Pada hakikatnya untuk membunuh sepi banayk orang akhirnya larut dalam dunia maya, dunia abstrak, dunia fantasi. Anda para penulis pasti pernah merasakan frustasi, rasa ditinggalkan oleh teman, atau galau saat orang merasa terhakimi, tidak bisa menyelesaikan problem hidup, tidak bisa mengurai benang kusut persoalan hidup yang selalu datang tak terduga. Stress, galau, patah semangat, patah hati, menjadi pergumulan manusia sepanjang waktu. Ketika cinta di tolak ada perasaan sepi menyergap dan itu menjadi persolan hidup yang memungkinkan seseorang akhirnya harus mengakhiri hidup, ketika seseorang dipecat dari pekerjaan yang memberinya kemapanan, rsanya dunia seperti kiamat, ketika melamar pekerjaan dan banyak perusaan atau instansi terlalu sering menolak. Ketika tulisan-tulisan yang dikirimkan ke media tak pernah direspon, rasa sepi itu selalu hadir menemani. Dan ketika sepi itu tidak dikelola maka penyakit, putus asa dan Depresi itulah ujung-ujungnya.
Bunuhlah sepi dengan Menulis
Solusi saya ketika mengalami perasaan galau, frustrasi itu adalah dengan menulis. Menulis itu seperti terapi yang membuat saya merasa lega setelah tercekam oleh perasaan sepi. Sepi juga menjadi bagian dari ilham saya untuk melahirkan tulisan-tulisan yang muncul di media massa, atau media social saat ini. Meskipun saya belumlah apa-apa dibandingkan penulis atau pengarang yang sudah tercatat sejarah, tapi paling tidak sampai saat ini saya masihlah rajin menulis disamping kesibukan saya yang utama sebagai guru.
Sebagai manusia yang selalu mempunyai persoalan, masalah dan tantangan banyak ide-ide yang terlintas dan itu saya tangkap sebagai terapi positif agar terbebas dari stress yang menghinggap. Setelah berumah tangga, ternyata permasalahan itu menjadi lebih berwarna, lebih kompleks dan lebih tak terduga. Ketika hidup dalam keramaian di keluarga dan persoalan-persoalan kecil yang akhirnya membesar menulis itu solusi saya untuk meredam ego-ego yang mungkin terjadi jika setiap pasangan hidup keukeuh dengan prinsip masing-masing. Saya menjadikan menulis sebagai terapi dan lepas dari rasa sepi saat merasa ditinggalkan oleh teman atau pasangan.
Entah teman-teman penulis Kompasianer juga merasakan bahwa sering terjadi halusinasi saat terjebak rasa sepi. Maka daripada saya bergumul dengan halusinasi satu-satunya solusi adalah menyibukkan diri dengan menulis. Tapi saya tidak menyarankan juga para pembaca terlalu larut dalam menulis saat rasa sepi itu menyergap, perlu juga manusia hidup dalam komunitas, hidup berorganisasi agar keseimbangan hidup tercapai. Bila anda berkeluarga anda juga perlu membangun relasi dengan Suami, istri, anak, orang tua maupun mertua. Saat harus hidup di tengah lingkungan dan kerumunan manusia seseorang juga harus menjadi bagian dari masyarakat yang dinamis, saat sibuk menulis dan memberikan komen di kompasiana sesekali bunuhlah kesepian dengan ikut kegiatan Kopdar, supaya kita juga menjadi bagian dari manusia yang utuh sebagai makhluk Homo socius.