Status dalam ruang lingkup kebudayaan di Indonesia sampai saat ini masih diagung-agungkan. Apalagi dengan prestasi pencapaian pendidikan dengan gelar kesarjanaan yang seabreg. Dalam ruang lingkup sosial kemasyarakatan pencantuman gelar adalah sebuah prestise. Tidak mengherankan sebab belum banyak masyarakat yang bisa mencapai tataran sarjana apalagi dengan meraih gelar tertinggi akademis. Diantara jutaan penduduk yang bisa berprestasi akademis paling masih ribuan. Dengan pencantuman gelar tersebut seseorang bisa menjadi tokoh masyarakat. Tokoh yang mampu atau dianggap mampu mewakili masyarakat untuk menjadi corong perubahan atau Agent of Change. Dengan prestasi akademis itu banyak orang menganggap akan mampu mengubah paradigma masyarakat dan memberi inspirasi untuk lepas dari jerat kemiskinan.
Manfaat gelar sarjana itu seharusnya mampu memberi sentuhan untuk keteraturan alur berpikir, berpikir logis praktis dan kreatif memanfaatkan peluang. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang mampu mengecap pendidikan tinggi semakin banyak orang yang bisa melepaskan diri dari patron masyarakat yang masih memuja pegawai sebagai pekerjaan elite dan terhormat. Sayangnya gelar untuk sekarang ini bisa dibeli. Untuk memperoleh gelar kesarjanaan banyak perguruan tinggi di Indonesia yang menyediakan jalur Tol hingga tidak perlu repot-repot mengikuti perkuliahan dan hadir terus di kampus. Sukup sediakan sejumlah uang dan gelar sarjana ada ditangan.
Padahal gelar akademik seharusnya adalah proses pembelajaran berjenjang. Proses kesadaran untuk mengembangkan ilmu hingga pada akhirnya mendapat anugerah gelar yang dicapai melalui ujian demi ujian untuk mencapai kompetensi keilmuannya. Kalau prinsip Gelar cuma sebagai status saja itu akan membuat preseden buruk bagi prospek pendidikan di Indonesia.
Banyak hal yang menjadi salah kaprah ditengah perkembangan sosial budaya, politik kemasyarakatan di Indonesia. Apakah ada jaminan dengan sederet gelar para Caleg mampu mewakili masyarkatnya untuk bersuara lantang mewakili nurani rakyatnya. Siapa mereka yang tiba-tiba nongol dengan wajah bersahaja, keren, perlente muncul di sepanjang jaur jalan, menempel di tembok, menempel di dinding bergelantungan diantara pohon dan pohon mencari dukungan dan tebaran janji manis. Mereka tiba-tiba bersimpatik, turun ke kerumunan massa mengajak gabung dalam partai yang"Mengusung janji Perubahan". Wajah keren dengan gelar berderet itu masih diam dia cuma tersenyum entah apa artinya. Berdoa dan berharap agar masyarakat terpikat dengan wajahnya dan mendukung lajunya ke kursi parlemen.
Sampai saat ini sebulan menjelang pemilihan umum saya masih belum tahu, dan tidak tahu siapa mereka. Lalu bagaimana saya akan memilih jika saya hanya tahu dari wajahnya dan sederet gelar yang ditampilkan di poster, baliho dan spanduknya. Saya tidak ingin memilih pepesan kosong. Saya masih kecewa dengan anggota DPR sekarang. Mereka kaum terpelajar, artis dan orang beken tapi kerja mereka belum optimal. Dari deretan UU yang harus diselesaikan belum ada 30 % yang sudah diselesaikan padahal sekarang sudah hampir memasuki masa kampanye untuk pemilihan anggota DPR berikutnya.
Gelar akademik itu sebuah prestasi dan ukurannya adalah seberapa besar karya yang bisa dihasilkan untuk kemaslahatan orang banyak. Bukan sekedar prestise atau status untuk menaikkan gengsi di mata masyarakat. Akan lebih malu jika bergelar Profesor DoktorPhD, SH,MM tapi cuma tidur saat rapat. tanpa ada yang bisa dikenang oleh masyarakat yang memilihnya.
Jadi jangan tertipu dengan deretan gelar yang disandangnya tapi cari rekam jejak dari calon yang akan kita pilih nanti di Pemilu tanggal 9 April.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H