Di ambang subuh, detik-detik beku berbisik pelan,
Angin merangkak di antara jendela yang setengah terkatup,
Mengetuk nadi bumi dengan irama dingin, berderap pelan.
Ia---denting waktu---menjelma sesosok pejalan sunyi,
Membawa beban sepi di bahu yang lunglai,
Setiap langkahnya menggores jarum pada langit gelap,
Menaburkan kabut di pelupuk fajar yang belum terjaga.
Di ujung malam, bulan mengerutkan wajahnya yang pucat,
Seketika terpantul dalam tetesan embun di ranting rapuh,
Subuh menggigil dalam pelukan langit kelabu,
Mencari jejak matahari yang tersembunyi di balik awan.
Ketika denting itu tiba di pintu subuh,
Waktu tercekik oleh sepi, membeku dalam bisikan sunyi,
Seolah ia tahu, pagi ini bukan sekadar peralihan,
Tapi sebuah kisah yang terukir dalam bayang-bayang abadi.
Fajar merambat perlahan, menyeret jingga di sayap cahaya,
Menyelubungi denting dingin dengan selimut api lembut,
Namun jejaknya terukir di kaca langit, memendar dalam butiran embun,
Mengabarkan kepada dunia, bahwa ia pernah ada, di pintu subuh yang beku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H