Lihat ke Halaman Asli

Dwian Sastika

Manusia Sebatang Kara

Jeritan Alam yang tercekik Beton

Diperbarui: 21 Juni 2024   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh Oleksandr P: https://www.pexels.com

Di bawah langit biru yang meredup,
Terdengar rintihan pilu dari pepohonan,
Bayang-bayang hijau tercekik beton,
Di pulau dewata yang kini terjerat zaman.

Dulu, Bali adalah senyuman pagi,
Di bibir laut yang bersolek pasir putih,
Namun kini, di bawah naungan kapital,
Alam menangis, sunyi merintih.

Sungai-sungai yang dulunya mengalun manja,
Kini tercekik sampah dan racun peradaban,
Udara yang dulu wangi aroma cendana,
Kini bercampur asap, meracuni harapan.

Di balik pura-pura yang masih tegak berdiri,
Roh-roh leluhur menangis dalam hening,
Di tengah festival dan tarian yang sakral,
Alam sekarat, berteriak dalam diam.

Pantai-pantai yang dulu penuh tawa riang,
Kini terenggut oleh resort megah,
Keheningan hutan yang suci dan damai,
Diinjak kaki-kaki tak peduli arah.

Bali, permata Nusantara yang memudar,
Dijual murah oleh mereka yang buta,
Pada kilauan uang dan janji kosong,
Mereka lupa, akar kehidupan adalah alam.

Wahai engkau, manusia yang terbuai mimpi,
Bangunlah, dengarlah jeritan tanah ini,
Sebelum surga ini benar-benar lenyap,
Terkubur dalam beton, tak lagi abadi.

Ingatlah, Bali bukan sekadar destinasi,
Ia adalah ibu yang merawat jiwa,
Namun kini ia merintih, memohon perhatian,
Di tengah hingar-bingar, di tengah kebutaan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline