Di taman sunyi, aku berdiri teguh,
Menyaksikan sang urat bergulat dengan waktu.
Dalam gemuruhnya alam yang berdentum,
Kisah takdir pun terungkap dengan jelas.
Dengan penuh semangat, sang urat melawan,
Menentang arus waktu yang tak terbendung.
Dia menari di relung hati yang beku,
Menggetarkan jiwa yang letih dan keluh.
Namun waktu, tak pernah berpihak padanya,
Dia mengalir, tak kenal lelah atau ampun.
Menggerus batu-batu kuat sang urat,
Mengukir jejak kehidupan yang tak terbendung.
Bagaikan kupu-kupu terperangkap dalam waktu,
Sang urat meronta, mencoba untuk terbang.
Namun sayapnya rapuh, tak mampu bertahan,
Menghadapi lautan waktu yang menggila.
Dalam perjuangannya, sang urat berbisik,
Pada keabadian yang tersembunyi di alam.
Ia memohon waktu, berhenti sejenak,
Berikanlah arti pada hidup yang melarat.
Namun waktu, tetap mengalir tanpa peduli,
Tak menghiraukan jeritan sang urat yang lelah.
Ia tetap menari di atas jalan yang panjang,
Meninggalkan sang urat dalam keputusasaan.
Namun meski terjebak dalam cengkraman waktu,
Sang urat tak berhenti merangkai kisahnya.
Dalam setiap detik yang tak bisa terulang,
Ia menjelma menjadi kenangan yang abadi.
Kala sang urat bergulat dengan waktu,
Kita pun bertanya pada diri sendiri.
Apakah hidup ini hanyalah perjuangan melawan waktu,
Ataukah kebermaknaan yang harus kita temukan?
Biarlah ini menjadi refleksi,
Tentang kehidupan yang bergulat dengan waktu.
Hargailah setiap detik yang kita miliki,
Sebelum kita terjebak dalam aliran yang tak berhenti.
Kala sang urat bergulat dengan waktu,
Biarkan kita menari dalam ritme kehidupan.
Tetaplah berdiri teguh, seiring perubahan,
Dan hadapilah masa depan dengan penuh keyakinan.