Lihat ke Halaman Asli

Saya Ditodong Wartawan

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua orang mengetuk pintu rumahku. Kudiamkan. Bayiku sedang terbangun dan rewel. Dari balik jendela aku melihat dua sosok itu. Satu orang pendek(160 cm )dengan tas ransel dan pakaian hitam rapi. Satunya lagi tinggi (170 cm) menggunakan helm dan jacket. Mereka duduk di bangku yang disediakan untuk pasien yang mengantri berobat di kakakku. Ya, kakakku seorang dokter. Sore itu saya hanya berdua dengan anak saya di rumah. Tak kugubris ketukan pintu itu karena biasanya yang datang adalah pasien kakakku dan bukan mencari saya.

10 menit berlalu, kedua orang itu masih saja duduk di sana. Tampaknya ia bukan pasien. Kamarku tepat di depan dengan jendela yang terbuka, khawatir mereka mengintip kugendong bayiku ke ruang tengah. Kemudian terdengar lagi ketukan pintu dan ucapan salam yang agak lama. Seolah menanti tuan rumah untuk keluar. Saya agak takut dan lantas kubiarkan saja mereka mengetuk pintu hingga lelah dan pulang.

Sejam kemudian, mereka datang lagi. Kakakku sedang visite ke rumah pasien. Di rumah saya hanya berdua dengan sepupu. Kali ini saya memberanikan diri menerima mereka. Ternyata mereka adalah wartawan sebuah tabloid di ibukota kabupaten. Tabloid yang baru pertama kali saya dengar namanya.Mereka datang mencari kakak saya untuk menyelesaikan pembayaran “iklan” yang mereka tawarkan ke kakak saya. Saya memakai tanda kutip pada kata iklan. Karena kakak saya tak ada niat untuk memasang iklan.

Materi iklan itu berupa ucapan selamat idul fitri yang di bawahnyabertuliskan nama-nama orang, profesi, serta instansinya. Layoutnya seperti satu halaman dengan banner “selamat idul fitri 1432 H” dan selanjutnya kotak-kotak kecil berisi nama-nama orang yang “beriklan”.

Mereka tak berbasa basi pada saya. Langsung berbicara tepat sasaran mengenai pembayaran kakak saya. Sisanya Rp.150.000 setelah dipanjar Rp.100.000 sambil mengeluarkan map dari ranselnya dan memperlihatkan bukti tanda tangan kakak saya. Kawannya yang satu lagi duduk di sampingnya, memperlihatkan tampang mengintimidasi sambil mengepulkan asap rokok memenuhi ruangan. Layaknya rentenir. Ini mungkin tanggapan saya yang sangat subjektif, namun saya merasa terganggu dengan itu.

Saya tak dapat berkutik. Nota itu benar dan kakak saya harus membayarnya. Namun, saya tidak ingin membayar langsung sebagai perwakilan kakak saya. Saya menanyakan beberapa hal. Saya berkata bahwa saya baru pertama kali melihat surat kabarnya. Ia segera mengoreksi bahwa itu adalah tabloid dan ia klam beredar di kabupaten. Saya pun lantas menanyakan dimana alamat redaksi dan ia jawabsebuah nama jalan. Saya meminta kartu persnya. Ia memperlihatkan ID kartu persnya. Bertuliskan PERS di atas fotonya. Anehnya adlaah jika ia wartawan, mengapa ia mencari iklan. Setahu saya Pers tugasnya mencari berita bukan mencari iklan. Iklan adalah tugas divisi bisnis. ID itu ia simpan di saku bajunya. Tak seperti kebanyakan wartawan yang saya kenal yang biasanya menggantungkan IDnya di leher .

Ketika saya bilang bahwa saya baru melihat tabloidnya, ia pun lantas menceramahi saya dengan kebebasan pers. Bahwa saat ini pers bebas dan orang dengan mudah membuat media. Dia tetap berusaha focus pada tujuannya, yaitu meminta uang. Dia meminta nomor telepon kakak saya padahal jelas-jelas di nota yang ada kakak saya menuliskan nomor teleponnya. Saya pun ngotot untuk tidak membayar. Dia lantas meminta saya menghubungi kakak saya untuk menginformasikan kedatangannya. Saya bilang “ kenapa bapak tidak atur janji terlebih dahulu dengan kakak saya. Kenapa tidak telepon”. Dia pun lantas memberikan banyak alasan bahwa perjalanannya jauh dari kota ke desa tempat saya tinggal. “Nah, itu dia pak. Karena bapak tidak atur janji lewat telepon terlebih dahulu jadinya nda bisa ketemu kakak saya” jawabku.

Dia tetap ngotot meminta saya menghubungi kakak saya meski saya desak agar ia menghubunginya sendiri. Dia berdalih tidak punya pulsa, saya pun menjawab “saya juga tidak punya pulsa”. Ia kembali lagi beralasan bahwa perjalanannya jauh dan agak repot baginya untuk pulang balik. Namun saya tetap ngotot tidak membayar. Kalo pun kakak saya yang mau bayar, itu urusan dengan kakak saya. Bukan dengan saya.

Saya pun mengambil jalan tengah meminta nomor teleponnya sehingga bisa memberikannya ke kakakku nanti. Sebenarnya saya meminta kartu namanya ( Setahuku wartawan biasanya dibekali kartu nama untuk dibagi-bagi kepada klien atau nara sumbernya), tapi katanya ia tidak membawa kartu nama.

***

Sebenarnya ini adalah kedatangan wartawan itu untuk kedua kalinya. Setelah pertama berhasil memaksa kakak saya untuk “beriklan” ucapan selamat idul fitri di tabloidnya. Kakak saya tidak ingin ambil pusing. Ia merasa dipaksa untuk beriklan dan seolah-olah di desak. Ia malas mendengar semua itu, makanya dengan cepat ia memberikan uang saja. Harga iklannya Rp. 250.000. Kakak saya membayar Rp. 100.000.

Sangat saya sayangkan sebenarnya, ketika kakak saya harus membayar sejumlah uang untuk iklan yang sebenarnya ia tidak butuh. Logikanya juga adalah ngapain beriklan di media yang baru kamu dengan namanya. Biasanya orang beriklan di media terkenal dengan oplah yang banyak dan memimpin pasar. Kakak saya pun tidak ada niat beriklan. Menuliskan namanya agar prakteknya laris? Bahkan tanpa beriklan pun ia telah kewalahan dengan pasien. Saat itu saya sedang tak ada di rumah dan kakak saya memilih aman saja daripada mendengar desakan orang yang mengaku wartawan itu yang seolah-olah memaksa dan tidak boleh tidak.

Ironis, sebuah profesi kewartawan dicatut untuk mengambil keuntungan dan membodohi warga. Saya yang pernah kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dengan program studi jurnalistik menyayangkan adanya penyalahgunaan profesi kewartawan. Di ruang-ruang kuliah dan pelatihan jurnalistik selalu ditekankan bahwa seorang wartawan tidak boleh menerima amplop, barang-barang pemberian nara sumber. Pemberian di sini adalah tanpa paksaan dari nara sumber. Namun yang terjadi adalah wartawan gadungan yang kemudian mengaku sebagai PERS, membawa identitas PERS, dan memaksa warga untuk beriklan atau membeli majalah. Tak jarang mereka memasuki sekolah-sekolah dan memaksa kepala sekolah membeli majalah atau tabloid mereka. Ini dialami sendiri oleh mama saya yang semasa hidupnya menjadi kepala sekolah. Sehingga saat pertama kali bertemu dengan calon suami saya yang awalnya bekerja di surat kabar, maka hal pertama yang ia tanyakan adalah kartu PERSnya.

Memang sangat mudah membuat ID PERS. Saat di kampus pun, jika ada tugas kuliah liputan kami harus membuat ID PERS yang menjadi tanda pengenal. Namun kami sangat paham bahwa ID tersebut tidak untuk disalahgunakan.

Ini bukanlah persoalan uang beberapa ratus ribu yang kemudian akan menyelesaikan masalah. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka akan merugikan bagi wartawan yang benar-benar bekerja secara professional. Akan timbul ketidakpercayaan dan ketakutan warga terhadap wartawan. Dan memunculkan sterotipe bahwa wartawan adalah tukang palak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline