Lihat ke Halaman Asli

Dwi Agusatya Wicaksana

Lumajang, Jawa Timur

Gadget canggih, dunia menulis semakin terpuruk.

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Assalamualaikum wr.wb Salam  sejahtera untuk kita semua. Jika berbicara tentang blog, kita patutlah bersyukur kepada pihak penyedia yang membuat media ini, selain gratis beberapa platform menyediakan kuota yang tidak sedikit sehingga kita dapat sepuasnya untuk mengunggah dakomen, foto atau video. [caption id="attachment_401050" align="alignright" width="300" caption="source: gerakanindonesiamenulis.blogspot.com"]

1425545493816286607

[/caption]

Di era modern ini semuanya serba canggih dan perubahan begitu cepat. Dulu di zaman bapak, untuk menulis saja suitnya minta ampun, beliau harus menggunakan sabak yang harus digunakan berkali-kali. Setelah selesai menulis maka harus dihapus kembali, dan memang membutuhkan daya ingat yang begitu ekstra.

Saya tidak bisa membayangkan apabila hal ini masih kita jumpai di era sekarang ini, pasti bayak mahasiswa dan pelajar yang mengeluh dengan hal yang demikian. Dunia sudah berubah, buku tulis sudah di jual dimana-mana dengan harga yang terjangkau dan murah, kita sudah tidak membutuhkan kertas berwarna hitam lagi seperti bapak kita dulu.

Alhasil, semakin pesat dan canggih. Secepat cahaya memancar, semuanya berubah. Dulunya guru dan dosen harus menerangkan menggunakan kapur tulis di papan hitam dan spidol di papan putih sekarang sudah jarang dijumpai, hanya di daerah tertentu. Kemajuan zaman membawa alat modern sejenis proyektor yang dapat memancarkan cahaya dengan dihubungkan pada PC/laptop. Mudah saja, harganya pun bisa dijangkau oleh instansi-instansi seperti perguruan tingi.

Kembali lagi pada kaidah yang berlaku, selain mempunyai manfaat yang baik pastinya beberapa kecanggihan tersebut juga mempunyai  hal-hal yang merugikan. Berbagai cara sudah di tempuh oleh setiap individu untuk menyamakan kehidupannya dengan orang lain. Yang semula hidup di desa, urban ke kota menjadi orang ke kota-kotaan dan kehidupannya pun berubah pesat, harus mengikuti kecanggihan itu.

Kegiatan menulis pun saat ini sangat memprihatinkan, berbeda dengan zamannya Bu Naning, guru saya saat SD kelas 4. Menulis saat ini sudah jarang di temui, terutama bagi kalangan mahasiswa. Memang benar, hanya 4 dari 10 mahasiswa yang mempunyai niat untuk terjun dalam dunia penulisan. Ketika saya mengajak beberapa mahasiswa untuk menulis, mereka hanya menganggukkan kepala dan kembali menggeser layar gadgetnya. Begitu seterusnya. Ketika mengajak mereka untuk terjun di dunia blogger, mereka berucap, “saya tidak bisa, kamu aja deh, kamu kan pandai dalam bidang teknologi.” Sebenranya ini salah siapa? Mengajak kebaikan kok malah membalikkan pernyataan. Keingingan untuk membuat tulisan mereka tetap hidup sangat sulit, padahal menulis tidak harus tulisan yang profesional seperti para kompasioner senior, menulislah apa adanya seperti air mengalir, dan berbicaralah seperti gemerciknya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline