Lihat ke Halaman Asli

Butir-butir Kepercayaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By @dwi_sartikasari

“Aku suka sama kamu, Nai.”

Aku terpaku mendengar kalimatnya. Bukan, bukan karena aku tidak biasa ditembak. Tapi karena orang yang mengutarakan itu adalah kakak kelasku yang sekarang kuliah di Makassar. Sementara aku ada di Jakarta, duduk di kelas 3 SMA. Saat SMA, awalnya kami sama sekali tidak dekat. Bahkan, saling tatap saat bertemu pun tidak. Tapi ternyata kami dipertemukan lagi melalui sebuah jejaring sosial, twitter.

“Nai, kamu dengar aku?”

“Iya Dit, aku dengar.”

“Terus jawabanmu apa?”

Lagi-lagi aku terdiam. Jika tidak ada jarak di antara kami, mungkin sudah kuiyakan sejak tadi. Tapi... mengapa jarak rasanya begitu memberatkanku?

“Kita ada di pulau berbeda, Nai. Tapi demi kamu, akan kuusahakan ke Jakarta. Kamu jangan khawatir tentang jarak. Selama komunikasi kita baik-baik aja, hubungan kita pun begitu.” Adit seperti mengerti masalahku. Suaranya di sana menenangkanku. Kuakui, kunci utama hubungan jarak jauh adalah komunikasi. Dan jika Adit menyanggupinya, aku pun akan mengusahakannya.

“Iya aku mau.” Senyumku tersungging. Aku pun merasakan Adit menyunggingkan senyumnya di sana.

***

Tiga bulan berlalu. Hubunganku dan Adit masih baik-baik saja. Ternyata, LDR tidak sesulit yang kubayangkan. Sejauh ini, Adit masih sering meneleponku setiap malam. Setiap pagi pun kami saling berkirim pesan untuk menyemangati satu sama lain.

“Naira.” Aku menoleh mencari sumber suara. Dan aku menemukan Dylan berdiri di sampingku. Laki-laki ini? Dia adalah teman dekatku yang sempat aku sukai. Tapi dia tidak pernah menyadari perasaanku hingga saat ini.

“Apa?” tanyaku bingung. Entah kenapa perasaan ini jadi tidak karuan. Aku sudah terbiasa ada di dekatnya, tapi kali ini rasanya lain.

“Jadi pacar gue ya?” dia langsung duduk dan menatapku dalam-dalam. Dia lalu mengambit lenganku dan matanya menatapku sungguh-sungguh. Begitu tajam, tapi meneduhkan. Sungguh, aku tidak percaya dengan ini.

“Apaan sih bercandanya nggak lucu.” Aku menarik lenganku dan membuang pandangan. Tidak, tidak. Aku sudah punya Adit. Aku sudah berkomitmen untuk menjaga perasaanku. Walaupun sebenarnya aku pun ingin merasakan pacaran jarak dekat. Dan jika menerima Dylan, aku bisa merasakannya.

“Nai, gue minta maaf selama ini gue gak pernah sadar akan perasaan lo. Jujur, gue juga memang suka sama lo sejak lama. Tapi gue takut kalau lo nggak punya perasaan yang sama. Gue takut pertemanan kita jadi rusak nantinya.”

Aku bergeming. Entah ini salah satu cobaan LDR atau jawaban atas kebingunganku selama ini. Kenapa harus sekarang, Lan? Aku melihat Dylan kembali menarik lenganku dan matanya menatapku hangat. Tuhan... ada apa dengan hatiku?

“Maaf, gue nggak bisa.” Aku langsung menarik lenganku dan membuang pandangan. Aku merasakan hati dan logikaku berdebat hebat. Hatiku berkata untuk tetap menjaga komitmen yang sudah kubangun empat bulan ke belakang. Tapi logikaku berkata agar aku menerima Dylan. Dengan Dylan, semuanya lebih terasa nyata.

“Tapi Nai—”

“Gue udah punya cowok.” Aku bangkit dari dudukku dan langsung beringsut keluar meninggalkan Dylan terpaku di tempatnya duduk. Sejak kapan Naira punya cowok?

***

Sudah seharian ini Adit belum menghubungiku. Tadi malam pun, dia tidak meneleponku. Awalnya aku ingin marah padanya. Tapi setelah seharian penuh tidak ada kabar, aku pun jadi khawatir. Akhirnya kuputuskan untuk meneleponnya lebih dulu. Tiga kali panggilan tidak dijawabnya. Rasa khawatirku semakin menjadi. Aku terus mencoba menghubunginya. Panggilan ketujuh pun akhirnya terjawab.

“Ngapain telepon gue?” suaranya dingin tanpa ekspresi.

“Dit? Kamu kenapa?”

“Alasan lo nggak mau pacaran sama gue karena jarak? Tapi bukan berarti lo harus selingkuh, kan?” tanyanya to the point.

Mulutku terbuka hendak mengatakan sesuatu. Tapi rasanya lidahku kelu. Aku tidak mengerti apa yang Adit utarakan.

“Lo selingkuh sama Dylan?”

Aku terpaku sejenak. Lalu berkata, “Dylan itu temenku, Dit. Nggak lebih.”

“Dia manggil lo Sayang di twitter. Mention lo setiap hari. Nggak mungkin nggak ada apa-apa.”

Seketika itu juga aku teringat kejadian saat Dylan memintaku jadi pacarnya di kelas. Sejak saat itu, Dylan memang jadi lebih pendiam. Tapi, sejak kapan dia sering mengirimi mention ke twitter-ku? Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dan mengabaikan twitter.

“Oke oke. Dia memang nembak aku dua minggu lalu, tapi nggak aku terima. Aku udah punya kamu, Dit,” aku menjelaskan. Meskipun logikaku terkadang masih sulit berkompromi. Aku tahu, Adit orangnya sangat cemburuan. Dia juga over-protective. Semenjak berpacaran dengan Adit, aku jarang pergi keluar karena Adit melarangku. Kecuali jika dengan Delia, sahabatku.

“Oh jadi kita mulai main rahasia-rahasiaan? Oke.”

“Dit, bukannya gitu! Selama dia nggak ganggu hubungan kita, selama aku bisa menyelesaikan sendiri, aku nggak mau ngerepotin kamu.”

“Lo lupa, gue itu cowok lo?”

Aku tak menjawab. Air mataku siap untuk menetes. Jika Adit sudah kasar begini, sudah bisa dipastikan dia sangat marah. Dan aku takut. Aku paling tidak bisa mendengar suara Adit dalam nada tinggi yang menyeramkan.

***

Seminggu lagi adalah pergantian tahun. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Adit. Setelah menjalani pacaran selama 5 bulan tanpa bertatap muka langsung, akhirnya aku akan segera bertemu Adit. Dia bilang akan berangkat dari Makassar esok hari. Dan aku sudah menyiapkan sesuatu untuk menyambutnya.

“Nai, gue nggak yakin deh Adit besok jadi datang.” Delia datang begitu saja dengan melontarkan kalimat menyebalkan. Dia lalu duduk di tempat tidur di sampingku.

Aku menatapnya kesal. “Aduh Del, udah deh. Lo mau sampai kapan nggak damai sama Adit? Dia cowok gue, lo sahabat gue. Gue nggak mau kalian malah bertengkar gitu. Pokoknya besok gue kenalin lo sama dia, ya?”

“Dia tuh udah ngambil lo sepenuhnya sampai-sampai lo jarang hang out lagi. Lo jadi nggak asyik, Nai!”

Aku hendak menjawab kalimat Delia, tapi dering ponselku mengalihkan pembicaraan kami. “Bentar Del.” Aku bergegas menjauhi Delia dan menjawab telepon.

“Iya Sayang? Besok jadi, kan?”

Delia menatapku dari kejauhan. Aku bisa melihat sorot matanya begitu tajam. Bukan untukku, tapi untuk si Penelepon. Siapa lagi kalau bukan Adit. Setelah mengakhiri pembicaraan, aku berjalan gontai ke arahnya. Aku langsung memeluknya dan menangis keras-keras. Lagi-lagi, bahunya selalu jadi sandaran kala aku menangis.

“Kenapa?” tanyanya lembut.

“Apa yang lo bilang..., itu bener,” ujarku terbata-bata. Dan aku tak mampu lagi berkata-kata. Delia memahamiku. Dia hanya mengelus kepalaku lembut tanpa kembali bertanya.

Salahkah jika kutitipkan cinta pada jarak? Benarkah jarak bisa menjadi penghubung rasa cinta antara dua insan yang saling terpisah? Aku sudah tidak pernah bertemu lagi dengannya. Tapi, mengapa bisa ada cinta di hatiku? Dia tidak begitu mengenaliku, awalnya. Lantas, mengapa dia begitu mudah mengutarakan perasaannya padaku? Sungguh, aku hanya ingin merasakan tulusnya dicintai. Sekali pun ada jarak di antara kami.

***

“Dit, aku capek.” Ujarku saat malam ini Adit meneleponku.

“Maksud kamu?”

“Dit, kamu sering nggak ada kabar. Kamu sering bikin aku khawatir. Kamu sering ngelarang aku kesana-kemari. Aku nggak mau dikekang gini, Dit.”

“Aku sibuk karena kuliahku yang semakin padat. Kamu ngerti dong. Aku juga ngekang kamu karena aku cemas. Aku nggak bisa jagain kamu di sana.”

“Tapi kamu sendiri nggak mau aku kekang, kan? Aku juga sama khawatir. Apalagi kamu sering foto bareng temen-temen cewek kamu yang genit itu.”

Adit terkekeh di seberang sana. “Jadi, kamu jealous?”

Aku merasakan pipiku memerah. Tentu saja. “Masa yang kayak gitu harus ditanya. Ya pasti aku jawab iya.”

“Maaf ya, Sayang. Mereka memang suka ganjen sih. Tapi nggak pernah aku respon kok. Maaf juga kalau aku terlalu sibuk. Aku janji, nanti aku pasti sempatkan waktu untuk kamu.”

Emosi kekesalan yang ingin kuluapkan pun akhirnya kembali kutelan bulat-bulat. Adit selalu tahu cara menenangkanku. Dan lagi-lagi, aku mengalah.

***

“Ini cowok lo?” aku mendapati Dylan berdiri di sampingku. Saat itu sedang jam istirahat dan aku sedang menikmati jus di kantin bersama Delia. Aku mengambil ponsel dari lengan Dylan dan membelalakan mata saat melihat sebuah foto. Tidak butuh waktu lima detik, mataku tiba-tiba saja terasa panas. Air mata langsung menumpuk di pelupuk mataku nyaris tumpah. Tapi aku masih bisa menahannya.

“Lo dapet dari mana?” tanyaku lirih. Delia sudah mendekap bahuku dan mengelusnya.

“Ceweknya temen gue. Waktu tahun baru kemarin, gue diajak ke vila dia di Bogor katanya mau ngerayain tahun baru rame-rame. Bareng cowok dia juga. Tapi gue nggak bisa ikut. Gue iseng lihat avatar dia waktu muncul di timeline. Eh kayaknya gue kenal sama cowoknya.” Dylan berusaha menjelaskan dengan hati-hati.

Aku sempat saling diam-diaman dengan Dylan dulu. Mungkin karena kami harus membiasakan diri setelah acara Dylan menembakku. Tapi kini kami mulai bisa mengobrol lagi, walaupun tidak seperti dulu. Sakit memang.

Dulu Adit bilang tidak bisa datang karena ibunya sakit. Ternyata...

Aku langsung menangis dan memeluk Delia erat-erat. Dylan pun ikut menenangkanku. Selama ini aku bertahan dalam jarak. Selama ini aku percaya pada jarak. Selama ini aku yakin bahwa jarak akan mempertemukan kami. Selama ini, Adit yang selalu menguatkanku. Dia yang membuatku bertahan dalam jarak ribuan kilometer yang memisahkan kami. Dia yang menjadi penopang di kala aku rapuh. Tapi, mengapa kini semuanya jadi terasa sia-sia?

***

“Kita kok belum ketemu-ketemu juga ya, Dit?” Malam ini, seperti biasa aku dan Adit kembali berbincang. Meskipun aku sudah ingin meluapkan emosiku padanya, tapi aku mencoba tetap tenang.

“Tenang, aku juga lagi berusaha kok. Sabar ya, Sayang.” Dulu, panggilan sayang-nya selalu bisa menenangkanku. Tapi kini, aku muak mendengarnya. Kutahu dari Dylan, ternyata temannya itu sudah berpacaran dengan Adit sejak hubungan kami menginjak 4 bulan.

“Aku mau putus Dit.” Suaraku dingin.

“Maksud kamu apa, Sayang? Kamu kenapa?”

“Aku nggak suka dibohongin kamu.”

“Bohong? Aku bohong apa? Kamu kenapa sih?” kudengar nada bicaranya mulai meninggi. Dan sudah kupastikan pertengkaran ini adalah pertengkaran terakhir di antara kami. Tentu saja aku akan segera menyelesaikannya. Aku ingin segera menyudahi air mata yang terus menetes tidak jelas ini.

“Dit, aku juga pengin kayak orang lain yang setiap malam minggu ketemuan. Atau setiap sekolah diantar-jemput pacarnya. Atau sekali-kali main ke rumah pacarnya, dikenalin ke orang tuanya, dikenalin ke temen-temennya. Aku juga pengin dielus-elus kepala, dikasih senyuman langsung, dipeluk kalau lagi gelisah dan nangis. Aku mau kayak temen-temenku, Dit.”

“Ya kamu sabar sedikit. Aku juga di sini kan ngurusin kuliah.”

“Oke aku bisa sabar. Tapi kalau kamu udah selingkuhin aku, aku udah nggak bisa sabar. Tahun baru kemarin, kamu ke Bogor kan sama Meril?” Aku tidak mendengar suara Adit. Sepertinya dia sedang memikirkan alasan yang tepat.

“Kamu ngomong apa sih?” tanyanya setelah beberapa saat hening.

“Kamu tinggal bilang iya aja susah banget sih!”

“Lo mau nuduh gue?”

Kalimat Adit membuatku mulai menangis. Aku berusaha menahan sakit. Apa ini balasan kesetiaan yang berhak kuterima dari Adit? Selama ini aku berusaha sabar bertahan dengannya. Karena aku tidak ingin menyakiti Adit. Lantas, mengapa ia tidak bisa melakukan hal yang sama denganku?

“Aku nggak nuduh. Aku lihat sendiri fotonya. Kamu pakai baju merah dan kacamata. Meril pakai baju warna peach dan pakai syal rajut. Dan yang ngeyakinin kalau kamu selingkuh, salah satu dari empat foto itu kamu lagi cium pipi Meril.” Aku menghentikan kalimatku. “Aku salah apa, sih, Dit?” tanyaku dengan suara lebih lirih.

Adit lagi-lagi terdiam. Kudengar hembusan napasnya terasa berat. “Maaf, Naira. Aku nggak bermaksud selingkuh. Aku hanya ngerasa bosan aja sama hubungan kita.”

“Kamu bosan terus selingkuh? Enak banget ya jadi kamu! Sementara aku jaga kesetiaan, kamu dengan enaknya cari selingkuhan. Dan yang lebih parahnya, kamu lebih milih ketemu selingkuhan kamu dibanding pacar kamu sendiri!”

“Aku juga cemburu sama Dylan, Nai! Sekarang aku udah putus kok sama Meril. Serius. Dia cuma sementara aja. Sayang aku masih buat kamu, Nai. Maaf banget.”

“Coba kamu minta maaf sama gelas pecah. Apa gelas itu akan kembali utuh seperti semula? Nggak, Dit!”

“Tapi kalau dicoba disusun, pasti bisa.”

“Tapi sayangnya kepercayaanku nggak sekadar pecah jadi puing-puing. Tapi udah remuk jadi butir-butir. Kamu tahu artinya apa? Nggak akan bisa ditambal, direkat pakai apa pun, disusun lagi, nggak akan bisa! Kamu yang awalnya ngejaga kepercayaanku. Tapi akhirnya kamu juga yang merusaknya.” Aku menghela napas sejenak. Dengan berat hati dan menahan tangis, “Hubungan kita sampai di sini aja, Dit. Kita nggak akan bisa pacaran tanpa ada kepercayaan.”

“Tapi Nai—”

“Inilah hasil tuai yang dulu kamu tabur.” Akhirnya telepon pun terputus. Meskipun hatiku sakit, tapi aku rasa sudah mengambil keputusan yang benar. Aku tidak menyalahkan jarak. Aku juga tidak menyalahkan kehadiran cinta di antara kami. Hanya saja aku yang begitu bodoh terlalu percaya padanya. Pada akhirnya aku menjadi buta pada keadaan. Keadaan pahit yang sebenarnya tidak ingin kupercayai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline