Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Penempatan Dana APBD dalam Deposito Bank

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa daerah menempatkan dana APBD dalam bentuk deposito di bank. Jumlah rupiah yang disimpan secara akumulasi secara nasional mencapai puluhan triliun rupiah. Ya maklum, karena di tingkat kabupaten/kota saja, sudah puluhan hingga ratusan miliar uang disimpan dalam bentuk deposito. Ada pertanyaan menggelitik, ketika warga masyarakat mendapat informasi bahwa pemda tidak ada dana untuk membangun ini itu atau untuk kegiatan ini itu, tetapi di akhir tahun ternyata tersisa dana. Dan bahkan daerah itu memiliki deposito puluhan miliar.

Soal dana APBD dalam bentuk deposito dicurigai menjadi ajang berburu rente bagi oknum tertentu. Ada manfaat yang dinikmati. Memang tak langsung berupa materi, tetapi bisa jadi mendapat fasilitas pinjaman dari bank di mana dana itu disimpan atau imbalan-imbalan tertentu di luar bunga deposito. Kecurigaan lain soal kepentingan-kepentingan politik yang meningkahi.

Fakta ini sekarang menjadi hal yang dianggap lumrah. Mengapa? Ya, karena secara formal tidak ada aturan yang dilanggar. Malah, pemda beralasan menyimpan dana itu toh juga bagian dari upaya menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pelanggaran ditengarai lebih pada dimensi penyalahgunaan wewenang. Di sisi lain aparat penegak hukum dinilai kurang jeli dalam menjerat pihak-pihak yang turut terlibat dalam masalah ini.

Menurut Iwan Satriawan, dosen Fakultas Hukum, Universitas Lampung, menyimpan dana APBD di bank merupakan kejahatan sistemik oleh banyak pihak. Sulit membongkar karena saling melindungi kepentingannya.

Dalam pandangan Iwan, penempatan dana APBD dalam deposito bank dapat menjadi pintu masuk korupsi. Setiap orang yang mendepositokan uang pasti mengharap bunga. Ini akan menjadi persoalan ketika dana akan digunakan tetapi tidak tersedia dana, karena dananya sedang disimpan dalam bentuk deposito. Yang sering terjadi, pemda mengaku tidak punya uang, tetapi di akhir tahun tiba-tiba ada dana lebih.

Berikut ini pernyataan Iwan Satriawan, yang ditulis secara bertutur:

Orang mendepositokan uang di bank pasti dilakukan dengan sengaja. Pasti ada motif untuk mendapatkan keuntungan, baik berupa keuntungan financial, material, maupun memperoleh manfaat. Yang terjadi kemudian adalah kongkalingkong antara pemerintah daerah dan DPRD. Yang terjadi adalah politik transaksional. APBD adalah uang rakyat dan hak rakyat untuk mendapat pelayanan. Hak rakyat untuk mendapat manfaat pembangunan.

Penempatan dana APBD dalam deposito dapat dikategorikan melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sekarang ini modus operandi korupsi semakin canggih. Oleh karena itu lembaga hukum dan penegak hukum harus proaktif, jeli, dan cerdas dalam menyikapi persoalan ini. Aparat penegak hukum harus mengaudit dana-dana yang diduga tidak jelas.

Persoalan dana pemerintah daerah yang didepositokan di bank itu terjadi setiap tahun dan di berbagai daerah. Jadi ini terjadi secara terstruktur dan tersistem. Untuk mengubah kondisi ini memang tidak mudah, karena harus mengubah undang-undang. Ini juga menjadi persoalan karena DPR tidak fokus pada perubahan undang-undang. Apalagi menjelang pemilu, mungkin para politisi lebih sibuk kampanye.

Sekarang yang diperlukan adalah kesadaran dan kecerdasan masyarakat untuk melakukan pengawasan. Dalam demokrasi memang akan menjadi persoalan ketika jumlah kelas menengah masih sedikit. Di Indonesia, jumlah warga kelas menengah belum banyak dan belum bisa diandalkan untuk mendorong demokrasi yang sesungguhnya.

Dalam soal dana APBd disimpan dalam deposito, ini merupakan fenomena unik “kejahatan sistemik”. Semua pihak yang terlibat saling diuntungkan. Sehingga saling melindungi dan berusaha melanggenggkan kejahatannya.

Sementara itu, dalam pandangan Asrian Hendy Cahya, SE., MS.; dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung, soal Pemda menyimpan dana dalam bentuk deposito tak masalah bila bukan menjadi target untuk meraih pendapatan asli daerah (PAD).

Berikut penuturan Asrian Hendy Cahya. Sejak era reformasi, sistem keuangan pemerintah diubah. Dulu sistem anggaran menggunakan anggaran berimbang atau sistem T. Artinya ada pendapatan dan ada pengeluaran. Sekarang, tidak seperti itu. Sistem keuangan ada tiga item, yaitu pengeluaran, pendapatan, dan pembiayaan.

Dalam APBD, sisa lebih anggaran (silpa) itu menjadi pembiayaan. Itulah kenapa sering dalam APBD disebut terjadi deficit, yaitu karena Silpa jadi biaya. Defisit tidak masalah jika nilainya lebih rendah dari Silpa. Jika deficit lebih besar dari Silpa, ini akan menjadi masalah. Untuk mengatasinya harus dibahas bersama Dewan, tentang dari mana biaya untuk menutupi deficit tersebut.

Terkait dana APBD yang disimpan dalam deposito bank, tidak menjadi masalah sepanjang itu didasarkan pada asumsi dan bukan menjadi target untuk memperoleh pendapatan. Jadi jasa bank atau bunga bank itu hanya merupakan konsekuensi. Jadi menyimpan dana di bank harus dimaksudkan untuk memperlancar kegiatan pemerintah. Kalau mengejar pendapatan dari jasa bank, akan menjadi masalah karena pasti akan memperbesar jumlah dana yang disimpan atau memperpanjang masa penyimpanan.

Sebenarnya menyimpan uang di bank, dan mendapat jasa bank, maka jasa bank itu juga masuk dalam kas daerah. Hampir tidak ada celah pelanggaran aturan formal. Yang terjadi adalah komitmen-komitmen antara penyimpan dana dan perbankan. Apalagi perbankan juga menghadapi persaingan yang ketat. Mereka berlomba-lomba mendapat dana pihak ketiga sebesar-besarnya.

Jika persoalannya adalah gratifikasi, maka itu yang harus dikejar oleh aparat hukum. Misalnya dapat dijerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang.

Penempatan dana APBD dalam deposito dalam rangka optimalisasi pendapatan daerah tidak jadi masalah, asalkan tidak menjadi tujuan dan ditarget. Patut diduga ada motif tertentu, karena dana yang disimpan dalam deposito adalah dana yang memang diperkirakan tidak digunakan dalam waktu tertentu. Harusnya dilakukan pembuktian jika dana yang didepositokan itu misalnya dana proyek yang tidak jalan. Ini menyangkut komitmen dan dedikasi aparatur pemerintah.

Pastinya akan selalu ada alibi atau dalih, kenapa suatu proyek tidak dapat dilaksanakan, atau tidak selesai sepenuhnya. Misalnya, berdalih proses tender yang rumit, atau ada kendala-kendala lain, sehingga suatu proyek yang sudah ada pos anggarannya, tidak dapat dilaksanakan. Itulah peluang-peluang yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Dana yang didepositokan di bank biasanya dana yang dianggap “nganggur” pada tahun berjalan. Jadi bukan dana sejak awal tahun, karena itu tidak mungkin. Kenapa? Karena semua dana APBD itu sudah ada pos dan “namanya”.

Pengawasan oleh DPRD juga kurang, karena sekarang juga ada masalah, di mana kepala daerah menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) kepada DPRD. Jadi yang disampaikan kepada DPRD bukan Laporan Pertanggungjawaban (LPj).

Dalam perspektif ekonomi, penempatan dana pemerintah dalam deposito untuk optimalisasi itu bagus. Dalam konteks ekonomi, uang itu tetap berputar. Satu lagi yang menjadi persoalan adalah kenyataan bahwa daerah kurang memiliki keleluasaan dalam menggali sumber-sumber pendapatan. Sumber-sumber pendapatan yang besar tetap dikelola pusat.

Memang ada semacam persoalan, karena jika disimpan dalam bentuk deposito, bagi bank itu berarti “dana mahal”. Berbeda jika disimpan dalam tabungan atau giro, di mana ini bagi bank adalah “dana murah”. Jika bank memperoleh “dana mahal”, maka serapan sector usaha juga agak sedikit terhambat. Jika bank memiliki “dana murah”, maka dunia usaha akan mudah mengakses dana bank. Jadi di sinilah kira-kira letak kerugian yang ditanggung masyarakat jika dana pemerintah disimpan dalam bentuk deposito.

Persoalan ini bermuara pada good corporate governance atau bagaimana tata kelola perusahaan yang baik dan good government atau bagaimana tata kelola pemerintahan yang baik. Jadi dua pihak itu yang harus menciptakan dan menjaga agar tidak ada peraturan yang dilanggar.

Penulis juga merekam pandangan Aliyan Setiadi, SH.; Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan LBH Bandarlampung. Menurut dia, dampak dari penyimpanan dana APBD di bank lebih banyak merugikan masyarakat. Sudah banyak kasus yang terbongkar.

Berikut pandangan Aliyan Setiadi. Soal penempatandana APBD dalam deposito bank secara umum diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Secara lebih khusus pengelolaan keuangan pemerintah daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005. Pada prinsipnya penempatan dana itu dapat dilakukan sepanjang memenuhi ketentuan yang ditetapkan, seperti disimpan pada bank milik pemerintah dan bank umum (bukan BPR).

Yang jelas setiap pihak, apakah itu orang per orang atau institusi mendepositokan uang di bank pasti ada motif untuk mendapat keuntungan. Sudah banyak kasus yang terbongkar dalam masalah seperti ini. Ini menyangkut korupsi yang semakin canggih, kejahatan luar biasa, dan kegiatan pencucian uang.

Kepentingan rakyat harus dilindungi. Rakyat harus mendapat pelayanan yang baik karena mereka yang membayar pajak.

Dari berbagai kajian terungkap adanya motif dalam penempatan dana APBD dalam bentuk deposito. Ada pihak-pihak yang diuntungkan. LBH mendorong agar penegak hukum jeli dan tegas dalam menelusuri dana-dana yang APBD yang didepositokan serta menelusuri adanya gratifikasi kepada pihak penyimpan dana. Cara penanganan tidak bisa dengan cara biasa, karena korupsi adalah kejahatan luar biasa. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline