Senja tadi berwarna kelabu dan aku mengingat Ibu. Begitu pun takada sendu menyelimuti kalbu karena hari ini ingatan pada Ibu berkelindan dengan bahagiaku. Mengenangnya membangkitkan sukacita, meski sesekali ditingkahi air mata.
Kubuka satu folder dalam komputer. Kuputar semua lagu yang bercerita tentang ibu. Seorang penyanyi membawa pada kenangan masa kecilku. Pada lembutnya belaian jemari Ibu. Pada merdu senandungnya yang meredakan tangisku. Pada pelukan hangat dan ayunan timang kasih sayang.
Ketika awan kelabu jatuh mewujud hujan, Ibu merupa bayang-bayang di kaca jendela. Bahagiaku melewah. Kulambai tangan menyapa riang, hendak memeluknya sepenuh rindu.
Alih-alih membalasku, terdengar lirih suara Ibu. Kenapa hanya sibuk memandangi hujan? Kenapa tak segera melangitkan doa kala senja tiba? Bersyukurlah hari terang berlalu dalam lindungan-Nya. Sementara aku tesipu, kabut senja menelan sosok Ibu.
Sekejap hadir dalam ingatan, Ibu yang setia bertekun dalam doa. Tak pernah alpa menyebut nama anaknya satu per satu. Tak lupa pula mengajarkannya.
Aku pun beranjak dan segera bertelut. Kunaikkan selaksa doa pada Yang Kuasa. Tak lupa kupinta surga. Bagi wanita yang rahimnya Dia pilih untuk menenun dan membentuk diriku. Bagi wanita yang bertaruh nyawa melahirkanku ke dunia. Bagi wanita yang kupanggil Ibu.
Depok, 01 Februari 2021
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H