Bapak: Dimin... Dimin... kowe lagi opo? (Dimin... Dimin... kamu sedang apa?)
Dimin: Saweg nedho Pak! (Sedang makan, Pak!)
Bapak: Saben tak timbali kok kowe lagi mangan. Opo wetengmu kui weteng karet? (Setiap kali Bapak panggil kok kamu sedang makan. Apa perutmu itu perut karet?)
Dimin meneng wae (Dimin hanya terdiam).
Percakapan antara Dimin dan bapaknya tersebut merupakan terjemahan aksara Jawa yang dihafal seorang kerabat pada masa sekolah dasar.
Mengingat usia beliau, buku pelajaran bahasa Jawa yang dipakai tampaknya lahir sebelum era "Ini Ibu Budi".
Saya suka melantunkannya dengan berirama sehingga terdengar lucu. Namun, di balik kelucuannya percakapan singkat tersebut menyimpan sebuah kebijaksanaan. Semacam satir, begitu.
Bapak Dimin yang keheranan karena selalu mendapati anaknya sedang makan menyebut perut Dimin sebagai "perut karet" yang mudah mulur sehingga sanggup menampung banyak makanan. Diamnya si Dimin menjadi sebuah permenungan mendalam.
Tak bisa dimungkiri bila ada banyak orang yang menikmati makanan hanya untuk memenuhi keinginan mulut. Makanan yang terasa maknyus di lidah memang acap kali mendorong seseorang untuk nambah lagi, lagi, dan lagi hingga mengabaikan perutnya yang mungkin sudah kekenyangan.
Ada pula yang memburu makanan hanya karena "lapar mata", demi mengikuti tren kuliner serta memperbarui status atau konten medsos. Boleh jadi semua makanan yang sudah dibeli tidak dimakan atau tidak habis dimakan, dan harus berakhir di tempat sampah.