Pagi masih berkabut. Hujan dini hari masih menyisakan dingin yang menggigit. Satu dua siswa yang memasuki gerbang SMA Prabangsa tampak melapisi seragamnya dengan jaket atau kardigan aneka warna.
Meskipun kicauan burung bersahutan mendominasi suasana pagi, tetapi kompleks sekolah masih relatif sepi. Bel tanda masuk baru akan berbunyi pukul tujuh. Puncak keramaian biasanya terjadi pukul setengah tujuh. Saat itulah kicauan burung akan mengabur ditelan keriuhan ratusan remaja belasan tahun.
Ayu siswa kelas sebelas tampak berdiri dekat ruang guru. Berkali-kali dia melirik arloji di pergelangan seraya membuat panggilan telepon. Sesekali dia merapatkan kardigan pastel yang membalut seragamnya. Sepertinya bukan karena kedinginan. Ekspresi keresahan mengisyaratkan ada masalah besar menimpanya.
Ketika pintu ruang guru terbuka, Ayu segera mendekat. Serta merta disambutnya lelaki tampan yang keluar dari ruangan berkaca riben itu. Ditariknya tangan lelaki yang tak lain adalah Pak Wisnu, guru Bahasa Inggris.
Namun, guru muda awal dua puluh lima itu berusaha keras menarik kembali tangannya.
"Ay, jangan berlaku manja! Ingat, di sekolah aku gurumu!" sergah Wisnu dengan suara setengah berbisik. Ekor matanya berusaha memastikan tak ada rekan guru atau murid yang melihat tingkah Ayu.
Dengan wajah cemberut Ayu melepas tangannya. "Iya... iyaaa... jaim banget sih!" katanya pelan, "Tapi anterin Ay dong, tugas praktikum Ay ketinggalan!"
"Aduuh, kebiasaan! Nggak bisa Ay, gimana kalau kita kejebak macet trus telat?" balas Wisnu masih setengah berbisik, "Jam pertama Mas harus bikin ulangan. Naik ojol aja deh!"
Mendengar jawaban Wisnu sontak Ayu kembali meraih tangan guru bahasa itu sambil merengek, "Tolonglaah... Mas tahu gimana Pak Raja, kan? Mas rela ngliat Ay berdiri di lapangan sambil menghormat bendera?"
Dahi Wisnu berkerut tak tega mendengar rengekan memilukan. Tanpa sadar guru berperawakan tinggi itu menepuk-nepuk punggung tangan Ayu. Mungkin dia bermaksud menenangkan gadis berparas melankolis tersebut.