Lihat ke Halaman Asli

Dwi Klarasari

TERVERIFIKASI

Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

Ayah, "Saudara Lelakinya", dan Jalan Aksaraku

Diperbarui: 12 November 2020   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: adoredecor -- pixabay.com

Ayah dan "saudara lelakinya" tak bisa dilepaskan dari perjalananku di dunia tulis-menulis. Talentaku menulis sudah pasti menurun dari ayah ibuku karena keduanya adalah guru yang memiliki bakat menulis. Namun, inspirasi dan pelajaran teknis terbesar sejatinya disulutkan oleh ayah dan "saudara lelakinya".

Ayah Multitalenta

Di masa kecil saya melihat ayah sebagai sosok yang memiliki banyak sekali kepandaian dan keterampilan. Sepanjang ingatanku ayah bisa melakukan aneka pekerjaan, mulai dari yang kasar sampai yang sangat lembut dan perlu ketelitian.

Belakangan setelah aku besar baru kupahami bahwa ayah siap melakoni pekerjaan apa pun demi tercukupinya kebutuhan keluarga dan agar anak-anaknya bisa bersekolah. Kalaupun sebelumnya suatu pekerjaan tidak dikuasainya, ayah akan belajar dengan cepat. Dalam ingatan saya ayah pernah belajar fotografi dan teknik cetak, cetak-mencetak, pijat refleksi, mendalang dan pewayangan, pranatacara (pewara untuk upacara adat Jawa), dan banyak lagi.     

Salah satu talenta ayah adalah menulis. Selain mengajar di sebuah SMA, ayah sempat melakoni pekerjaan sebagai wartawan di tabloid dan majalah. Ayah juga menulis buku dan menerbitkannya secara indie. Uniknya semua itu dikuasainya tanpa menempuh jalur pendidikan khusus. Saya mafhum jika itulah yang disebut bakat alami.

Saya pun tak bisa mengelak jika bakat menulis saya diturunkan dari beliau. Diturunkan dalam konteks ini juga tak terpisahkan dari ketertarikan yang muncul karena atmosfer literasi dalam keluarga. Selain itu juga adanya keterlibatan langsung dan terus-menerus dalam pekerjaan terkait.

Sebagai contoh sederhana, sejak kecil kami terbiasa mendengar dongeng sebelum tidur. Setiap malam ayah atau ibu bergantian mendongeng. Saya tidak pernah melihat sih, tetapi boleh jadi ayah ibu melakukan suit sebelum mendongeng. Hahaha...

Selain mendongeng, ayah ibu tampaknya juga berkomitmen untuk menyediakan bacaan bagi kami. Kendati hidup sederhana, di rumah selalu tersedia majalah anak. Saya masih ingat betapa gembiranya setiap kali melhat majalah baru. Kami juga terbiasa melihat banyak buku bertumpuk-tumpuk di rumah karena ayah pernah memiliki persewaan buku.

Konon, kesukaan membaca berpotensi memicu ketertarikan seseorang untuk menulis. Saya turut mengamini quote yang satu ini. 

Hobi Ayah Menulis Surat (?)

Selain bawaan "DNA" serta tradisi mendengar dongeng dan membaca sejak kecil, satu lagi yang menumbuhkan minat menulisku adalah hobi korespondensi.

Ayah maupun ibuku memiliki hobi surat-menyurat (korespondensi). Ini hanya pendapat saya. Boleh jadi yang mereka lakukan sebenarnya bukan hobi, tetapi pada zamannya komunikasi jarak jauh yang paling murah memang dengan saling berkirim surat (pos). Telepon masih mahal, internet belum ada. Ayah ibu rajin berkorespondensi dengan keluarga di kampung masing-masing atau saudara yang tinggal di kota lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline