Silakan Baca bagian sebelumnya: Kembali Bebas (Bagian 1)
Aku tak pernah rela kehidupanku dirampas secara hina karena aku juga makhluk-Nya yang berharga. Acap kali aku ingin menggugat Tuhan. Kenapa Sang Pemberi Hidup yang dikenal Mahamurah itu tidak menganugerahiku kemampuan agar aku dapat melawan? Tidak sedikit pun bahkan untuk sekadar mempertahankan diri.
Ketika itu kawan-kawanku yang selamat-meskipun hanya sementara-menangisi kepergiaanku dalam kebisuan. Sebenarnya mereka pun memeram rasa takut bila kelak mengalami nasib serupa. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain berpasrah.
Bagaimanapun kehidupan ini milik Yang Maha Kuasa.
Aku percaya takdir. Namun, benarkah terpenjara dan menua di "neraka" rumah Prawiro menjadi takdirku? Dahulu saat beranjak dewasa aku yakin takdirku menjadi berguna bagi dunia yang indah ini. Jika tidak, kenapa Tuhan memberiku banyak kelebihan? Ya banyak, kecuali untuk dapat bertahan dari orang-orang jahat seperti Prawiro.
Mungkinkah Tuhan telah mengubah takdirku? Ataukah penjahat seperti Prawiro mampu mengubah takdir Tuhan? Sungguh, aku tak habis pikir. Rasanya saat ini aku menjadi maakhluk tak berguna. Andai bisa kurangkai kata, akan kutulis sepotong memoar yang menera tebal nama Prawiro terikut seluruh kejahatannya.
Aku tahu segalanya perihal Prawiro. Dia bukan masyarakat kebanyakan. Dia warga terhormat, satu di antara kaum pejabat, dan tanah tempat tinggalku dulu ada di bawah kuasanya. Semenjak dia berkuasa apa pun yang diingini pasti didapatnya. Sekali pun sesuatu itu diharamkan atau terlarang. Semua bawahannya menjilat dengan menjura memberi hormat, meskipun mereka tahu bahwa dia manusia laknat.
Semasa aku masih tinggal di perbukitan, sejumlah kejahatan Prawiro kudengar dari bisikan angin yang dikirimkan lewat dedaunan. Dinding-dinding bukit pun tak tinggal diam. Jerit sunyi para korban digaungkan sepanjang waktu.
Sejak terpenjara di rumah ini, segalanya bahkan kudengar lebih nyata. Seluruh pori-pori di tubuhku telah merekamnya hingga mengkristal kemarahan. Sepanjang pengetahuanku, di ruang bundarnya Prawiro dan segenap kroninya-entah siapa saja-biasa menghabiskan hidangan nikmat sembari membahas niat jahat. Banyak kejahatan, termasuk menggunduli hutan-hutan perawan.
***
Bukan Balas Dendam
Semua perkara tak selalu seturut asa. Kemarau yang semestinya datang sebulan lalu tak kunjung tiba. Apa lacur, sekali dua hari bumi basah walau sekadar oleh gerimis. Kini berhari-hari sudah hujan lebat mendera bumi hingga menciptakan kabut hitam di hati si juragan hingga resah tak berkesudahan.