P r o l o g
Pernah aku berandai-andai memimpikan diri jadi seekor elang. Ketika kupikir elang memiliki sisi jahat lalu kupilih wujud baru, yaitu kepompong yang kelak mewujud kupu-kupu. Dalam anganku, kupu-kupu senantiasa mendapati tatapan kagum, teristimewa dari anak-anak yang menyukai objek warna-warni.
Aku tahu hidup kupu-kupu paling lama hanya sekitar empat minggu. Namun, ada keyakinan bahwa aku akan mati dalam kecantikanku. Mati terhormat usai mewarnai dunia. Walau sekejap hidupku akan penuh makna, tiada sia-sia. Aku dapat membantu penyerbukan aneka bunga. Aku akan menebar ceria dalam hati anak-anak yang berlari kian-kemari mengejarku. Kusematkan bahagia bagi siapa pun yang menangkap keindahanku.
Mereka yang tetiba melihatku mati pun semestinya akan jatuh iba seraya meratap "Aduhai makhluk cantik, mengapa begitu singkat masa hidupmu?" Sebagian yang lain mungkin sibuk dengan kameranya untuk mengabadikan kecantikanku.
Terbayang pula sekelompok orang yang berupaya mengawetkan sosokku untuk dikoleksi dalam lemari kaca. Boleh jadi mereka ingin mengabarkan bahwa dunia yang karut-marut ini juga dihiasi oleh makhluk Tuhan yang sedemikian indah bernama kupu-kupu.
***
Percakapan di Ruang Bundar
"Nanti kubayar lebih mahal dari tarifmu!"
"Tapi Gan, saya tidak mau lagi berurusan dengan polisi!" sahut pria lima puluhan itu sembari menunduk. Di hadapannya tegak lelaki perlente berjuluk juragan, bernama Prawiro. Tuan Prawiro, begitu kudengar orang banyak memanggilnya. Aku lebih suka menyebutnya Tuan Arogan, atau cukup namanya saja.
Braaakkk!
Suara gebrakan tangan Tuan Arogan begitu kuat hingga menggetarkan seluruh tubuhku. Gaungnya belum lagi lenyap dan rasa terkejutku pun belum surut ketika gebrakan kedua menyusul.
Braaaakkk!