Lihat ke Halaman Asli

Dwi Klarasari

TERVERIFIKASI

Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

Merindu Abimanyu (Bagian 2)

Diperbarui: 6 September 2020   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Enrique Meseguer -- pixabay.com (with photo filter)

Silakan baca kisah sebelumnya: "Merindu Abimanyu (Bagian 1)"

PAGI BELUM LAGI TERANG dan udara pun masih sangat lembab. Halimun menghalangi pandangan serta menyelimuti rumahku yang belum terbuka. 

Kuamati pohon kamboja di sudut halaman. Pucuk batangnya melengkung karena sarat oleh bunga. Di bawah kamboja terdapat kandang ayam kate. Sepertinya tempat itu memang sangat pas untuk piaraan Abi tersebut.

Di sisi lain halaman berdiri tegak pohon kiara payung. Batangnya dibalut aneka anggrek dan sirih belanda berdaun selebar talam. Tanaman sutera bombay rimbun menutup tanah yang melingkari dasar pohon. Bunganya belum lagi mekar karena masih terlalu pagi. Biasanya menunggu mentari meninggi sekitar pukul sembilan atau sepuluh.

Tiba-tiba guguran daun kiara payung menarik perhatianku. Daun berwarna kecokelatan serupa batang es krim itu membawa ingatanku kepada Abi. Bukan karena Abi menyukai es berbahan susu itu, tetapi karena dahulu ia selalu enggan jika kuminta bantuan membersihkan dedaunan kering tersebut.

 

'Kenapa tidak kita biarkan saja menjadi humus, sih?', begitu Abi selalu menggerutu bila kuminta menyapu halaman. 

 

Lalu kujelaskan panjang lebar bahwa memang begitulah rencanaku. Hanya saja, dedaunan itu harus dikumpulkan dulu di satu tempat, yaitu lubang yang dibuat Mang Sapto. Nanti secara bertahap akan ditimbun dengan tanah, lapis demi lapis. Jadi, selain mendapatkan humus halaman kebun juga terlihat tetap bersih. Namun sejelas apa pun kuuraikan rencana dan maksudku, Abi tetap saja menolak sapu yang kusodorkan.

 

'Oh my God! Tidakkah aku terlihat aneh, Bun? Apa nanti kata para gadis jika melihat pria tampan menyapu terbungkuk-bungkuk?' Sederet kalimat itulah yang selalu menjadi senjatanya. Biasanya aku hanya tersenyum. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline