Lihat ke Halaman Asli

Dwi Klarasari

TERVERIFIKASI

Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

Guru yang Mendidik

Diperbarui: 26 November 2018   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: geralt - pixabay.com

Ketika duduk di kelas 6 SD, kami (saya dan teman-teman sekelas) mendapatkan pelajaran tentang tugas dan tanggung jawab. Pertama, kerjakan tugas yang sudah sejak awal kita terima sebagai kewajiban. 

Kedua, jangan pernah saling melempar tanggung jawab, dan ketiga, jangan saling lempar kesalahan bila terjadi bencana karena tidak terlaksananya suatu tugas atau tanggung jawab.

Pelajaran ini tak pernah hilang dari benakku. Terutama karena pelajaran tersebut kami terima sebagai sebuah pengalaman tak terlupa. Bukan dalam bentuk teori ataupun ceramah panjang lebar di depan kelas. Pelajaran tersebut kami terima saat ulangan (Matematika, kalau tak salah).

Begini kisahnya...

Ulangan Matematika akan dilaksanakan pada jam sesudah pelajaran lain berakhir, seingatku PMP (Pendidikan Moral Pancasila, sekarang PKn). Tak heran bila sesudah guru PMP keluar semua anak buru-buru sibuk belajar untuk ulangan. Lumayan, 1-2 menit mengingat rumus sebelum guru masuk kelas.

Akibatnya, tak ada satu anak pun teringat untuk menghapus papan tulis yang sudah penuh dengan tulisan pak guru PMP.  Oya, pada zaman itu kami masih menggunakan papan tulis hitam dan kapur tulis putih atau warna-warni.

Teman-teman yang hari itu ada dalam jadwal piket---bertugas menyapu dan membersihkan kelas, termasuk menghapus papan tulis---pun saling lempar tanggung jawab. Semuanya ingin belajar sesaat lagi. Alhasil, tak ada seorang pun yang menghapus papan tulis.

 Murid-murid yang tidak piket seakan juga tidak peduli karena merasa bukan tugasnya. Kelas sepi. Semua sibuk belajar untuk ulangan yang terkenal susah ini. Semua menginginkan nilai sebagus mungkin.

Saking seriusnya belajar, saat guru masuk kelas nyaris tidak ada yang menyadari. Tiba-tiba saja Bu Guru sudah memerintahkan kami membuka buku ulangan bersampul cokelat sambil marah karena papan tulis masih penuh tulisan. "Kita mau ulangan kenapa tidak ada yang menghapus papan tulis?"

Mendengar teguran itu, sontak beberapa anak yang piket hari itu beranjak dari kursi hendak berlari ke depan kelas. Namun, Bu Guru menghentikan dan menyuruh mereka duduk kembali.  

Ulangan akan dimulai. Kami menyangka Bu Guru akan mendiktekan soal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline