Sepanjang bulan Oktober yang disepakati sebagai #bulanbahasadansastraIndonesia ini saya sudah berniat untuk menulis berbagai keresahan dan juga minat saya terhadap bahasa dan sastra. Beberapa kali saya sempat menggunggah karya prosa fiksi cerita pendek yang secara spesifik berlabel #pentigraf. Kali ini saya juga ingin sedikit mengupas perihal 'pentigraf'. Apa-bagaimana pentigraf dan dari mana saya belajar.
Pentigraf kependekan dari "cerpen tiga paragraf". Meskipun sebenarnya bukan produk baru dalam karya sastra prosa, tetapi mungkin saja untuk sebagian orang pentigraf masih terasa sedikit asing. Saya sendiri mengenal istilah pentigraf sekitar dua tahun lalu, ketika bergabung dengan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG).
Adalah Dr. Tengsoe Tjahjono sang penggagas pentigraf yang mengajak saya dan kawan-kawan dalam komunitas untuk mulai menulis cerpen tiga paragraf. Melalui sastrawan sekaligus dosen yang tinggal di kota Malang-pendiri KPKDG dan komunitas penulis pentigraf 'Kampung Pentigraf'-inilah saya banyak belajar mengenai seluk-beluk penulisan pentigraf.
Sebagai karya sastra, pentigraf masuk dalam kelompok cerita mini, yaitu cerita pendek yang pendek. Dalam cerita mini dikenal pula istilah flash fiction, cerita pendek yang sangat singkat. Meskipun tidak ada batasan pasti, flash fiction rata-rata memuat 250 hingga 1000 kata. Cerita mini yang lebih dari 1000 kata juga ada.
Namun, alih-alih dibatasi jumlah kata, pentigraf lebih dibatasi pada jumlah paragraf (alinea). Seperti kepanjangan dari akronimnya, karya pentigraf harus terdiri atas tiga paragraf-tidak kurang, tidak lebih. Menyitir tulisan Tengsoe dalam artikel "Belantara Tema di Ruang Sempit" dalam blog ibeoktaviano.blogspot.com ada dua alasan pemilihan format tiga paragraf.
Pertama-tama adalah kepastian panjang teks yang tidak dibatasi jumlah kata ataupun huruf memungkinkan penulis lebih leluasa menuangkan gagasan; dan yang kedua adalah kepadatan teks serupa puisi sehingga mendorong penulis untuk menguraikan cerita secara padat.
Saya ingat dalam pelajaran bahasa Indonesia, satu paragraf bisa berisi satu kata hingga beberapa kalimat, tetapi agar mudah ditangkap idealnya tidak lebih dari 7-10 kalimat.
Kepada kami Tengsoe selalu menegaskan bahwa meskipun pendek dan hanya terbatas tiga paragraf, cerita dalam pentigraf harus memiliki tokoh, alur, dan juga konflik. Masih menurut Tengsoe, ruang sempit yang membatasi penulisan perlu disiasati dengan pemilihan diksi yang tepat serta penguatan narasi dalam penceritaan.
Dialog atau percakapan langsung yang biasanya terdapat di dalam cerpen sebaiknya dikurangi dan lebih baik dinarasikan. Satu hal lagi yang selalu ditekankan oleh sang suhu, agar pentigraf memiliki daya tarik maka baik jika ada kejutan pada akhir cerita.
Bagi sebagian orang yang ingin sekali bisa menulis prosa fiksi tetapi cenderung merasa enggan atau malas-dengan alasan tidak memiliki cukup waktu-pentigraf bisa menjadi solusi.
Setidaknya sebagai sarana pembelajaran untuk mengasah diri dalam menuangkan gagasan menjadi sebuah prosa fiksi. Sembari menunggu datangnya angkutan umum atau saat menempuh perjalanan panjang yang membosankan, menulis pentigraf dapat dijadikan aktivitas literasi yang mengasyikkan sekaligus bermanfaat.