Lihat ke Halaman Asli

Dwi Klarasari

TERVERIFIKASI

Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

Lembaran Merah Soekarno-Hatta

Diperbarui: 25 Oktober 2018   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.liputan6.com

"Seikhlasnya Mbak." Jawaban tukang ojek menghentikan gerakan tanganku di mulut dompet. Ketika minta diantar aku memang tak sempat bertanya ongkos. 

Terhipnotis oleh tatapan sayu dari wajah keriputnya, aku terima saja ketika tangannya yang tak kalah keriput mengangsurkan helm. Sorot matanya seolah mengirim pesan tentang kesusahan hidup yang mengetuk kuat hati keciku. Aneh, kenapa ia tidak mematok bayaran? Aku tak habis pikir! Akhirnya, kuikhlaskan lembaran merah Soekarno-Hatta tanpa meminta kembalian. 

Sesaat mata tuanya menatapku tak percaya, lalu perlahan tampak berbinar-binar. Ia menengadah dengan tangan terkatup sebagai tanda syukur. Lalu, dengan senyum semringah berkali-kali ia menjura padaku seraya berterima kasih juga memberiku bonus berkat dan doa agar aku selalu bahagia.

Aku tercenung dalam tanya. Semudah itukah orang bersahaja bahagia? Hanya dengan lembaran merah yang biasa kuhabiskan di kafe dalam hitungan detik? Seumur hidup belum pernah kubuat orang lain sedemikian bahagia hanya dengan selembar Soekarno-Hatta. 

Ekspresi teman-temanku bahkan biasa saja meskipun usai kutraktir dengan berlembar-lembar uang kertas nominal terbesar. Bisikan terima kasih pun tak akan terucap. Traktiran hanya bagian dari pertemanan. No duit, no cinta, kata mereka.  

Masih terbawa lamunan, kuraih kamera di meja kerja. Kuarahkan lensa panjangnya ke jalanan di antara pencakar langit. Kurekam keramaian pagi di sudut-sudut jalan. Kuabadikan ragam ekspresi penuh semangat pagi. 

Tiba-tiba lensaku menangkap kerumunan orang di dekat pangkalan ojek tak jauh dari kantorku. Ada kecelakaan. Kulihat sebuah motor butut yang hancur teronggok tak jauh dari kerumunan. Ada helm biru dengan stiker lambang negara, persis seperti milik tukang ojek yang tadi mengantarku. Seketika jantungku berdegup kencang. 

Perasaanku tak nyaman. Aku bergegas turun ke lantai dasar dan berlari keluar gedung. Saat berhasil menerobos kerumunan, kudapati tubuh pak tua sudah terbujur kaku bersimbah darah. Dari celana lusuhnya menyembul lembaran merah Soekarno-Hatta. Tubuhku terasa lunglai.   




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline