Pada 11 Maret 2020 lalu, siaran televisi Indonesia menjadi sangat gempar. Pada hari itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan virus COVID-19 sebagai pandemi. Berdasarkan data Wikipedia.org, pada tanggal 9 April, pandemi sudah menyebar ke-34 provinsi dengan DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sebagai provinsi paling terpapar SARS-CoV-2 di Indonesia. Sampai tanggal 2 Juli 2021, Indonesia telah melaporkan 2.228.938 kasus positif menempati peringkat pertama terbanyak di Asia Tenggara. Dalam hal angka kematian, Indonesia menempati peringkat ketiga terbanyak di Asia dengan 59.534 kematian. Pemerintah Indonesia mengajak masyarakat untuk memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas (5M) untuk menekan pencegahan penularan dan penyebaran virus corona di masyarakat.
Sejak pemberitaan kasus pertama COVID-19, pemerintah membuat aturan atau sistem baru bagi dunia pendidikan. Pada bulan Maret 2020 mulai diberlakukan pembelajaran dari rumah, dimana seluruh instansi pendidikan membuat siswanya belajar melalui daring. Berdasarkan pengalaman saya yang merupakan seorang pelajar yang pernah mengikuti kegiatan belajar mengajar jarak jauh atau biasa disebut juga Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), pemberlakuan sekolah daring terus mengalami penambahan durasi pembelajaran. Dengan adanya hal tersebut, tidak sedikit dari kami (para siswa) mulai mengeluhkan soal pembelajaran daring di masa pandemi ini seakan guru-guru yang mengajar tidak ada batasan tugas dalam mengajar di masa pandemi ini.
Dilansir dari Nasional Kompas, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menginginkan agar sekolah tatap muka dapat dilaksanakan pada Juli mendatang. Beliau menyebut beberapa alasan mengapa tetap bersikeras memperjuangkan hal ini terutama adalah mencegah lost of learning, karena kondisi pendidikan di Indonesia sudah tertinggal dari negara lain selama pandemi ini. Menurut Nadiem, kondisi pendidikan Indonesia saat ini tertinggal dari negara-negara lain.
Namun, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Prof. Unifah Rosyidi menilai keinginan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk melakukan pembelajaran tatap muka pada Juli mendatang belum dipersiapkan dengan baik (sumber: nasional kompas.com 20 Maret 2021).
Menurut opini saya, untuk sekarang sekolah tatap muka masih sangat tidak efektif untuk dilaksanakan di tengah meningkatnya kembali kasus Covid-19 yang akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2021 atau semester genap itu. Pembelajaran tatap muka sangat tidak efektif dan efisien, karena menurut saya kebijakan pemerintah yang membuka sekolah pada Juli mendatang tidak realistis. Dasarnya karena tingkat penularan virus corona di Indonesia masih sangat tinggi, yakni di atas 85%.
Terdapat berita yang mengabarkan bahwa banyak siswa sekolah yang tertular virus tak kasat mata ini. Seperti yang diberitakan oleh Berita Satu, mengenai "3 Siswa Terpapar Covid-19, Sekolah Tatap Muka Di Kabupaten Bogor Dihentikan". Tiga orang siswa terpapar Covid-19 setelah pelaksanaan simulasi sekolah tatap muka yang dilakukan di salah satu SMA di Bogor, Jawa Barat. Menurut saya, pemerintah juga harus memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan. Karena, selama satu tahun lebih dilakukan sistem pembelajaran jarak jauh banyak siswa yang putus belajar karena beberapa alasan, seperti ketidaktersediaan alat untuk belajar online atau kesulitan mendapatkan jaringan.
Selain dampak negatif dari sekolah daring yang membuat pelajar cepat merasa jenuh, ternyata pembelajaran daring ini juga memiliki dampak positif untuk para pelajar. Pelajar SMA pada generasi saat ini selalu identik dengan teknologi. Menurut Ryan Jenkins (2017), Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi organisasi.
Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pelajar usia SMA sederajat adalah bagian dari Generasi Z. Di masa sekarang ini, cara terbaik untuk mereka mendapatkan dan menyebarkan informasi adalah dengan memanfaatkan teknologi . Banyaknya informasi yang didapatkan, diharapkan para pelajar bisa mendapatkan pengetahuan umum dari manapun sebagai pedoman atau pembelajaran untuk dirinya. Selain itu, para pelajar dapat menyebarkan informasi lewat sosial media seperti Instagram, Twitter, TikTok, atau YouTube yang semakin banyak digunakan Gen Z. Ilmu yang telah dipelajari di sekolah maupun dari sumber lainnya di internet dapat dibagikan melalui sosial media.
Kita, saya, dan kamu para pelajar Indonesia, walau hanya sedikit yang bisa kita lakukan dan tidak berdampak besar untuk negeri ini, tetapi ingatlah bahwa hal kecil yang kita lakukan jika kita kerjakan secara maksimal, maka akan mendapatkan hasil yang maksimal juga. Suatu saat nanti, perubahan akan selalu datang dan tidak bisa kita hindari. Kita, para penerus bangsa, harus siap mengubah mental dan pola pikir untuk menghadapi segala perubahan yang akan datang. Mari kita bertahan dan saling menguatkan sekalipun ada perubahan drastis di waktu yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H