Lihat ke Halaman Asli

Rencana Ambisius Atau Ancaman Lingkungan? Menyikapi Usulan Penebangan 20 Juta Hektar Hutan Untuk Ketahanan Pangan

Diperbarui: 22 Januari 2025   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada 8 Januari 2025, Suara.com melaporkan bahwa Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan rencana ambisius untuk menebang 20 juta hektar lahan hutan demi meningkatkan ketahanan pangan nasional. Rencana ini memicu perdebatan luas mengenai dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekosistem. Dalam laporan yang diterbitkan oleh Suara.com pada 8 Januari 2025, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan rencana untuk mengkonversi 20 juta hektar lahan hutan menjadi lahan produktif. Langkah ini bertujuan untuk mendukung ketahanan pangan, energi, dan air nasional, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait dampak lingkungan dan deforestasi yang semakin parah.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengusulkan konversi 20 juta hektar lahan hutan menjadi lahan produktif untuk ketahanan pangan, energi, dan air, dengan penekanan bahwa rencana ini tidak akan melibatkan pembabatan hutan, melainkan penerapan metode tumpang sari. Metode ini menggabungkan tanaman pangan dengan pohon hutan, seperti menanam padi atau jagung di bawah pohon jati atau sengon, untuk meningkatkan produktivitas lahan tanpa merusak ekosistem hutan. Deforestasi di Indonesia telah menjadi masalah serius, dengan kehilangan 30,8 juta hektar tutupan pohon antara 2001 hingga 2023, terutama di provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Dengan pola tumpang sari, pemerintah berharap dapat mencapai swasembada pangan, di mana penanaman padi di 1 juta hektar lahan hutan dapat menghasilkan 3,5 juta ton beras, setara dengan total impor beras Indonesia pada tahun 2023. Selain itu, pemerintah juga berencana menanam pohon aren untuk bioetanol, di mana satu hektare pohon aren dapat menghasilkan 24 ribu kiloliter bioetanol, yang dapat menggantikan sebagian besar impor BBM. Raja Juli telah melantik pejabat baru di Kementerian Kehutanan untuk mendukung rencana ini dan berharap kolaborasi dengan Kementerian Pertanian dapat dimulai dengan penanaman di lahan seluas 50 hektare pada 22 Januari 2025.

Dalam era teknologi saat ini, kita memiliki berbagai alat dan metode yang dapat membantu meningkatkan produktivitas pertanian tanpa harus mengorbankan lahan hutan. Bioinformatika dan bioteknologi, misalnya, menawarkan pendekatan inovatif untuk mengembangkan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap hama dan penyakit, serta meningkatkan efisiensi penggunaan air dan nutrisi. Dengan memanfaatkan teknologi ini, kita dapat meningkatkan hasil pertanian di lahan yang sudah ada tanpa perlu membuka lahan baru, sehingga menjaga kelestarian hutan dan ekosistem yang ada.

Selain itu, penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ekosistem dan cara-cara berkelanjutan untuk memanfaatkan sumber daya. Dengan melibatkan mereka, kita tidak hanya menghormati hak-hak mereka, tetapi juga dapat menciptakan solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan dapat membantu mencegah konflik agraria dan memastikan bahwa kebutuhan mereka diakui.

Pada postingan Instagram @mandharbrasika tanggal 10 Januari 2024, penulis mengkritik rencana Menteri Kehutanan untuk membabat 20 juta hektar hutan demi kemandirian pangan dan energi, menyebutnya sebagai "kegiatan pemalas." Ia mempertanyakan apakah benar-benar perlu membabat hutan seluas itu dan menyoroti bahwa tindakan tersebut mencerminkan kurangnya kreativitas dalam mencari solusi. Penulis memberikan contoh Belanda, yang meskipun hanya memiliki 2 juta hektar lahan pertanian, berhasil menjadi negara eksportir pertanian terbesar kedua di dunia dengan nilai mencapai 2000 triliun. Ia mencatat bahwa perbandingan dengan kerugian akibat korupsi di Indonesia, yang hanya 300 triliun, tidak relevan karena Indonesia adalah negara besar, sedangkan Belanda kecil.

Penulis menekankan bahwa Belanda, dengan luas lahan pertanian yang hanya 1/10 dari rencana pembabatan hutan di Indonesia, mampu menghasilkan hasil pertanian yang luar biasa berkat inovasi seperti pertanian rumah kaca. Ia menjelaskan bahwa pemerintah Belanda mendukung penelitian ilmiah dan teknologi canggih, seperti IoT, robot, dan AI, yang meningkatkan produktivitas pertanian. Sementara itu, penulis mengungkapkan bahwa Indonesia juga memiliki universitas dan peneliti hebat di bidang pertanian, seperti IPB, tetapi pemerintah dianggap kurang berpikir jauh dan lebih memilih solusi instan.

Penulis memperingatkan bahwa membabat hutan mungkin terlihat mudah, tetapi kerusakan yang ditimbulkan bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki. Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan, mengingat Indonesia telah kehilangan 10 juta hektar hutan sebelumnya dan masih berencana untuk menambahnya.

Menurut saya pernyataan rencana Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk mengubah 20 juta hektar lahan hutan menjadi lahan produktif kurang efektif dan sangat tidak solutif. Meskipun tujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan sangat penting, langkah ini berpotensi memperburuk masalah deforestasi yang sudah menjadi tantangan serius di Indonesia. Deforestasi tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim yang dapat berdampak luas pada kehidupan manusia dan ekosistem. Oleh karena itu, saya percaya bahwa kita perlu mencari solusi yang lebih berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.

Penolakan penebangan lahan seluas 20 juta hektar untuk ketahanan pangan sangat penting demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan melindungi ekosistem yang sudah kritis. Deforestasi dapat mengancam keanekaragaman hayati dan memperburuk perubahan iklim, sehingga alternatif yang lebih berkelanjutan perlu dipertimbangkan. Pembukaan lahan baru berpotensi menyebabkan kerusakan ekosistem yang parah, meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan longsor, serta menggerus ruang hidup masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Alih-alih membuka lahan baru, pemerintah seharusnya fokus pada revitalisasi lahan pertanian yang sudah ada dan memberdayakan petani lokal, yang akan lebih efektif dalam mencapai ketahanan pangan tanpa merusak lingkungan.

Di sisi lain, teknologi seperti bioteknologi dan bioinformatika dapat berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian tanpa perlu membuka lahan baru. Bioteknologi memungkinkan pengembangan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap hama dan penyakit, serta memiliki hasil yang lebih tinggi. Sementara itu, bioinformatika membantu dalam analisis data genetik tanaman, sehingga memungkinkan pemuliaan yang lebih cepat dan efisien. Dengan memanfaatkan teknologi canggih, kita dapat mengoptimalkan penggunaan air dan nutrisi dalam pertanian, mengurangi kebutuhan untuk membuka lahan baru, dan menjaga keseimbangan ekosistem. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan petani mengenai teknologi baru juga akan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola lahan secara berkelanjutan. Dengan demikian, melalui pemanfaatan teknologi dan pendekatan yang berkelanjutan, kita dapat mencapai ketahanan pangan tanpa harus mengorbankan hutan dan ekosistem yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline