Juli 2004, bus Sumber Kencono melaju kencang ke arah Surabaya setelah ngetem di terminal Purabaya Madiun. Melewati Nglames, aku bersiap-siap turun di Dumpil, pertigaan berhias persawahan luas yang sangat indah, yang namun kini hancur lebur menjadi Gerbang Tol Madiun.
Belum sempat berdiri, bakul mainan anak-anak menawarkan boneka teletubbies satu paket dengan piano kecil.
"Berapa, Mas?"
"Dua puluh ribu."
Ibu paroh baya di samping berbisik, "Tawar 18 ribu saja."
Ternyata benar. Begitu aku tawar 18 ribu, teletubbies dan piano langsung diberikan. Pertigaan Dumpil sudah terlihat. Mengapa aku tega mengambil dua ribu ripis yang nilainya sangat kecil, tapi yang mungkin sangat besar bagi bakul ini?
"Ndak jadi nawar, Mas. Saya bayar 20 ribu saja."
Ibu di sebelah kaget. Bakul bingung. Dumpil tinggal sekejap.
"Nggih pun, Pak. Kalau begitu ini saya kasih baterei, untuk pianonya."
"Matur nuwun, Mas!" sambil melompat keluar bus menggenggam teletubbies, piano dan baterei, tidak sempat berpikir untuk menolak pemberian batereinya.
Dari sebuah sawah di seberang Gerbang Tol Madiun, 14 April 2018