Langkah pertama revolusi pendidikan sekolah di Indonesia adalah menghapus sekolah-sekolah dan menggantikannya dengan bimbel atau lembaga-lembaga bimbingan belajar. Mengapa? Karena kegiatan belajar mengajar di sekolah selama ini seolah-olah hanya untuk memenuhi formalitas dan mengejar nilai minimal tertentu. Dan karena seolah-olah kegiatan belajar mengajar sesungguhnya ada di bimbel. Di bimbel, murid belajar dan diajar secara intens dan sistematis untuk membantu mereka mencapai nilai minimal tertentu, sementara kebiatan belajar di sekolah semacam stempel saja.
Mempertimbangkan tujuan utama sekolah, yaitu pencapaian nilai minimal tertentu, sah-sah saja jika sekolah-sekolah ditutup dan tanggung-jawab pendidikan diserahkan sepenuhnya ke bimbel-bimbel yang bisa jauh lebih intens dan sistematis dalam membantu murid mencapai nilai sekian dan sekian.
Tapi, apakah tepat jika tujuan utama pendidikan di sekolah adalah membantu murid menjadi lulusan yang seragam kemampuannya, yang secara seragam mencapai rentang nilai tertentu dengan batas minimal tertentu? Jawabannya jelas tidak. Maka, sekolah-sekolah jangan ditutup, tapi revolusi mereka dengan sembilan cara berikut:
1. Hapus sertifikasi karena administrasi/birokrasi sertifikasi ternyata justru menghambat guru dalam berkarya. Waktu mereka habis untuk mengurus persyaratan-persyaratan sertifikasi baik sebelum atau setelah sertifikasi diperoleh. Belum lagi persyaratan beban mengajar minimal yang menyebabkan guru-guru kejar tayang demi tetap dikeluarkannya tunjangan sertifikasi mereka secara ajeg jumlah dan ajeg waktu. Gara-gara kejar tayang ini, guru dan murid sama-sama menjadi korban.
2. Gaji guru dengan sangat pantas, minimal selevel gaji pokok plus tunjangan sertifikasi. Pekerjaan mengajar adalah pekerjaan yang berat dan mulia, dan membutuhkan pengetahuan dan skill yang tinggi. Mereka harus digaji tinggi.
3. Kurangi beban mengajar guru sampai titik yang proporsional. Kalau beban mengajar tidak masuk akal, bagaimana guru bisa mempersiapkan pengajaran dengan baik, bagaimana guru bisa merefleksi pengajaran dan mengevaluasi pekerjaan murid dengan mendalam? Bagaimana guru bisa meningkatkan kemampuan profesionalnya? Bagaimana guru bisa berinteraksi dengan keluarganya?
4. Kurangi jumlah mata pelajaran. Tawarkan mata pelajaran yang relevan-relevan saja. Sekarang jumlah mata pelajaran per semester untuk SMA dan SMK terlalu banyak, sekitar sepuluh, bahkan ada yang mencapai dua belas. Dengan mata pelajaran terlalu banyak, murid akan tahu banyak hal, tapi cenderung bungkusnya saja, jauh dari isi.
5. Fokuskan pada sistem pembelajaran yang menghargai keberagaman potensi, bakat, dan minat murid. Sistem pembelajaran sekarang ini di sebagian besar sekolah sebenarnya sudah mengarah ke sistem yang menghargai proses, ke sistem yang menghargai keberagaman minat dan bakat murid, ke sistem yang menyadari bahwa murid perlu dibantu untuk mengoptimalkan potensi masing-masing mereka yang unik dan kaya, bukannya memaksa mereka untuk mencapai arah dan target yang seragam, misalnya target semua harus kuat dalam bidang sain atau bidang akademik lainnya dengan nilai minimal sekian dan sekian.
Namun sistem yang kondusif di atas, yang menghargai keragaman potensi, minat, dan bakat murid, celakanya, secara paradoks, masih dibarengi dengan sistem lainnya, sistem yang memaksa murid mencapai prestasi seragam dalam bidang yang seragam pula. Dengan kata lain, sistem berbasis keberagaman potensi murid digabungkan dengan sistem pencetak lulusan mie instan. Dan sistem mie instan ini didukung dan selaras dengan sistem UN, sistem penerimaan mahasiswa perguruan tinggi, dan sistem bimbel. Jadi, kalau boleh ngomong ngawur-ngawur, ganti saja sekolah-sekolah, ganti dengan bimbel-bimbel super mahal yang bertebaran bagai bintang di seluruh nusantara itu.
6. Rancang dan terapkan sistem belajar mengajar sedemikian rupa sehingga murid dengan belajar di sekolah langsung bisa menguasai ilmu dan keterampilan yang diajarkan, tanpa harus mengikuti lagi bimbingan belajar, yang menghamburkan terlalu banyak uang, waktu, dan tenaga. Dengan cara ini, murid mempunyai waktu memadai untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman di kampungnya, untuk bermain, untuk berolahraga maupun berkesenian, dan untuk berkeagamaan.
7. Hapus program Pendidikan Profesi Guru (PPG). PPG adalah salah satu pemborosan terbesar di negeri ini.