Lihat ke Halaman Asli

Dwi Elyono

Pencari

Giarto dan Darko, Sahabat Sejati dari Kendeng Lor

Diperbarui: 2 November 2017   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Agustus 1999, sebulan setelah memegang ijazah SMA, aku berjalan penuh semangat menyeberangi Kali Wonokromo. Masih jam 6 pagi, tapi jembatan Wonokromo sudah penuh pejalan kaki dan bakul. Di barat sungai, perahu tambang menyisir, sementara di timur, pintu air Jagir, bangunan kuno peninggalan Belanda, menjadi siluet matahari pagi.

"Kalau udah kerja, udah gajian, traktir mie ayam ya, Om," keponakanku berlarian kecil mengimbangi langkahku. Ibu jauh di belakang, "Ojo banter-banter."

Membuka-buka berkas lamaranku, pak FX, kepala bagian personalia pabrik sepatu Hope Shoes, memberi nasehat, "Bangunlah rumah di atas batu karang, jangan di atas pasir, jangan di atas tanah gembur." Belum pernah aku dengar petuah seperti itu sebelumnya. Aku mengangguk. "Dwi, kalau kamu mau, kamu bisa kerja mulai hari ini. Tapi pekerjaannya berat dan kotor. Membersihkan sampah, ngepel lantai ruang produksi yang luas sekali itu, membersihkan toilet, dan bantu-bantu apa aja bila dibutuhkan." Sejak kelas 3 SMP, aku sudah terbiasa bekerja berat. Kuli air jerigenan, tukang pasir, kuli serabutan, semua aku lakukan. Maka, diterima menjadi karyawan di sebuah pabrik di wilayah Tambak Sawah, Gedongan, Sidoarjo ini adalah salah satu anugerah terindah dalam hidup.

Di pabrik inilah, aku bertemu dan kenal sahabat-sahabat terindah. Di antaranya Giarto dan Darko. Giarto dan Darko adalah adik kakak, sama bapak beda ibu. Usia keduanya terpaut enam tahun. Berasal dari pegunungan Kendeng Lor, desa Sulang, kecamatan Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Sama-sama lulusan SMP, mereka mengadu nasib di Sidoarjo, Bekasinya Surabaya. Giarto ditempatkan di bagian yang sama dengan aku, Kebersihan Umum. Darko, sang kakak, di Kebersihan Kantor.

Bertahun-tahun bergaul dengan teman-teman Surabaya, khususnya Wonokromo, yang keras dan kasar, bertemu dua sahabat dari Rembang ini bagai mendapati oase di padang pasir yang kering kerontang. Nada bicara mereka seperti gemericik kali di bukit-bukit kapur Kendeng Lor, tidak seperti omongan arek Suroboyo yang atos. Giarto selalu ceria. Membersihkan toilet selalu riang. Makan se tidak enak apapun selalu bilang, "Penuk," enak jadi penuk. Pernah sekali miso menirukan pisoan Suroboyoan yang terkenal sejagad raya itu, tapi bukannya serem, tapi malah lucu bikin ketawa sesama pejabat cleaning service.

Darko, sama-sama ceria walau terkadang suka menerawang alias merenung. Suka dzikir. Jalan dzikir. Menyapu kantor dzikir. Pernah aku main sepuluh hari di Sulang, desa Darko dan Giarto. Sering aku temani Darko berjalan keliling desa. Setiap melihat di kejauhan ada anak nyumet mercon sumbu, Darko komat-kamit, dzikir, menatap tajam mercon yang sumbunya sudah terbakar. Ajaib, sumbu yang terbakar tiba-tiba mati, bungsung! Dan keajaiban Darko ini berlangsung berulang-ulang.

Suatu malam, lewat tengah malam, Darko dan Giarto mengajak aku ke lapangan desa yang berada di antara rumah sederhana mereka yang terbuat dari kayu dan rumah pendopo pak camat yang besar seperti kraton. Di tengah lapangan, Darko dan Giarto duduk bersila, saling menghadap, jarak sekitar 9 meter. Suasana sepi, hening. Mereka berdua mengambil napas dalam-dalam, kedua tangan masing-masing yang semula terkatup di dada, perlahan membuka dan kemudian bergerak cepat ke depan. Satu kerikil di depan darko dan satu kerikil lain di depan Giarto melesat ke depan. Dua kerikil melayang dan bertabrakan di udara, dan terdengar, "Takkk!!" Pecah!

Iya, Darko dan Giarto tidak hanya ramah, tapi juga sakti. Aku yang sejak kecil tahunya cuma keruwetan Surabaya, terheran-heran melihat kesaktian dua sahabat ini. Tapi sesakti-sakti Darko ada kelemahannya juga. Selepas menyapu teras kantor, Darko berniat membersihkan bagian dalam. Tapi di depan pintu kaca besar, Darko lupa PULL itu TARIK atau DORONG. Tarik, dorong, tarik ... dorong, didoronglah kaca raksasa itu. Prrrraaanngg..!!!! Hari itu Darko disidang manajemen, tapi untunglah pak FX, kepala bagian personalia, berhati malaikat. Darko cuma diberi peringatan, tidak diminta mengganti kaca mewah, yang harganya jutaan kali gaji Darko.

Darko yang sakti itu kalah sama bahasa Inggris.

Setelah enam bulan bekerja bersama Darko dan Giarto, kami harus berpisah, karena kami bertiga dan beberapa buruh lainnya dipecat. Kami mendemo perusahaan, yang sering menyuruh kami lembur tapi dengan upah yang tidak jelas. Bukannya mendapat koreksi upah, kami malah diberhentikan. Aku, pemimpin demo, sempat ditawari pindah ke bagian kantor, tapi aku tolak. Waktu itu kepala personalianya sudah bukan pak FX lagi.

Giarto kemudian bekerja di Kyung Dong, pabrik sepatu di seberang jalan. Darko bekerja di pengepul barang-barang plastik bekas olahan pabrik sepatu. Aku di pabrik setang sepeda motor, mulai dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore memotong setang besi, badan jadi kurus ceking kayak Bruce Lee.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline