Lihat ke Halaman Asli

Dwi Aprilytanti Handayani

Kompasianer Jawa Timur

Kenangan Ziarah Kubur dan Rahasia Bunga Kamboja

Diperbarui: 2 April 2023   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Golongan Adenium. Sumber foto: Astama81 at Pixabay

Ziarah kubur menjelang Ramadan telah berlangsung secara turun temurun. Entah siapa yang memulai dan mengajarkan, tetapi berziarah ke makam para leluhur, orang tua, keluarga menjelang Ramadan seolah menjadi kewajiban. 

Tidak afdol jika menjelang Ramadan tidak berziarah. Nyekar, istilah dalam bahasa Jawa. Saya masih ingat saat (almarhum) Papa akhirnya mampu membeli mobil bekas setelah bertahun-tahun menabung, maka tradisi nyekar ke Malang, daerah leluhur Papa karena beliau berasal dari Malang dan ke Porong, Sidoarjo sebagai daerah asal leluhur Mama.

Meski ke Malang untuk keperluan ziarah kubur tidak mampir ke tempat-tempat wisata, tetapi hati merasa gembira. Gembira menikmati hawa segar dan dingin kota Malang (saat saya masih kecil, kota Malang masih sangat sejuk, tidak sepanas dan gerah seperti sekarang) Masih teringat berduyun-duyunnya para peziarah di hari-hari terakhir bulan Sya'ban terutama saat akhir pekan. Kemudian anak-anak kecil pencari berkah segera membuntuti para peziarah, mereka dengan tangkas membersihkan rerumputan di makam keluarga peziarah dan di sekitarnya. Sebagai upah, mereka pun menerima beberapa rupiah dari peziarah.

Berziarah kubur di makam leluhur Mama tak kalah seru. Jika berziarah ke makam eyang buyut, kami selalu mampir di rumah warisan yang dulu ditempati keluarga adik eyangku. Rumah yang beraksen khas Jawa masa penjajahan Belanda. Halamannya luas, dipenuhi berbagai jenis pohon buah, dari Rambutan, Mangga hingga buah Kelapa. Ubinnya halus, dingin berbentuk kotak-kotak besar. 

Duduk di teras dengan kursi kuno, menikmati angin yang berhembus bebas dan sesekali menyaksikan kereta yang melintas sungguh sangat mengasyikkan. Tapi rumah itu kini tinggal kenangan karena menjadi salah satu korban lumpur panas, meski uang ganti ruginya dibagikan merata sesuai hak ahli waris, timbul rasa kehilangan juga.

Ziarah kubur menjelang Ramadan juga menjadi tradisi orang-orang yang tinggal di tempat saya dibesarkan. Rumah kami di Probolinggo tak jauh dari pemakaman umum. Menjelang Ramadan dan hari pertama lebaran, pemakaman yang biasanya sepi tiba-tiba ramai sekali. Saya dan beberapa teman sepermainan sering menghabiskan waktu bermain di makam umum sambil menyaksikan para peziarah merapal doa. Kami tak punya tujuan khusus untuk berziarah, tetapi kami punya kesibukan tersendiri. 

Saya dan teman-teman sibuk mencari dan mengumpulkan bunga kamboja yang berserakan. Pemakaman umum yang terletak dekat rumah dihiasi dengan beberapa pohon Kamboja. 

Kami punya keyakinan bahwa kelopak bunga Kamboja yang berjumlah genap akan mendatangkan rezeki. Lazimnya bunga Kamboja memiliki kelopak sebanyak lima buah. Maka jika menemukan kamboja berkelopak empat atau enam buah, kami anggap sebagai pertanda akan mendatangkan rezeki nomplok. 

Benar saja, tak seberapa lama usai menyimpan bunga kamboja dengan jumlah kelopak genap kami rata-rata menerima rezeki nomplok. Bukan rezeki yang luar biasa, sebab tak lama kemudian kami pasti menerima angpau berisi uang sebagai hadiah lebaran. Saat sudah menginjak usia remaja dan dewasa saya tak lagi tertarik mengumpulkan kamboja berkelopak genap sebab saya paham hal itu hanya keyakinan anak-anak kecil belaka yang tak bisa dijelaskan secara logika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline