Lihat ke Halaman Asli

Dwi Aprilytanti Handayani

Kompasianer Jawa Timur

Berdonasi Anti Gagal Melalui Bahasa Universal

Diperbarui: 6 Maret 2019   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Data diakses dari http://bnpb.cloud/dibi/tabel1a

Negeri kita adalah negeri yang indah tapi rawan bencana. Data statistik BNPB menunjukkan data bencana yang mampu membelalakkan mata. Mengingatkan kembali bahwa Indonesia laksana perhiasan mutu manikam yang terletak di atas sabuk bencana yang siap menghunjam. 

Menurut data yang bisa diakses di situs BNPB, bencana yang terjadi selama tahun 2018-2019 tercatat sekitar 3267 kejadian bencana alam yang mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan fatal. Bencana paling besar disebabkan oleh gempa bumi, tsunami serta "duet maut" gempa bumi dan tsunami.

Masih terekam jelas dalam ingatan. Ketika bencana gempa bumi melanda Lombok dan Sigi. Tak terbayang derita keluarga yang tercerai berai. Sehari sebelumnya mereka masih berkumpul riang tanpa pernah diduga sehari kemudian ribuan nyawa melayang. Hari-hari penuh canda tawa sirna tanpa sisa ketika bencana tiba-tiba melanda. Tawa riang penuh canda, hilang musnah berganti menjadi derita.

Penderitaan para korban bencana tidak terhenti pada kehilangan sanak saudara dan anggota keluarga. Bagi yang rumahnya hancur total dan tak mungkin lagi dihuni, terpaksa hidup di pengungsian yang tak bisa disebut layak. Tenda-tenda darurat penuh sesak. Fasilitas air bersih, kamar mandi kurang memenuhi syarat. Tak jarang sebagian warga kehilangan mata pencaharian sehingga jatuh melarat. 

Sejak terjadi becana gempa bumi Lombok 5 Agustus 2018, yang mengakibatkan 381 jiwa melayang, seribu lebih menderita luka dan lebih dari dua puluh ribu rumah rusak berat, korban bencana yang selamat harus hidup di pengungsian. 

Para pengungsi tak jarang menderita sakit ISPA dan diare karena kondisi tempat pengungsian yang memprihatinkan, air bersih minim dan penyakit lebih cepat menular. Hingga bulan Desember 2018 belum tampak pembangunan hunian pengganti rumah rusak bagi para pengungsi. 

Sebagian bangunan fasilitas umum yang berdiri adalah bantuan dari para relawan. Rumah yang kembali dibangun rata-rata karena inisiatif pribadi dari pengungsi yang masih memiliki sisa harta atau nekad berhutang. Sebagian besar lagi memilih bertahan di pengungsian dengan segala penderitaan.

Pengungsi Korban Gempa Lombok, foto diambil dari Kompas.com

Belum reda nestapa di Lombok, terjadi bencana yang tak kalah mengerikan di Palu, Donggala dan Sigi, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018. Fenomena likuifaksi yang muncul akibat gempa bumi menelan dan meluluhlantakkan bangunan yang berdiri di atas tanah bencana. Lumpur cair berubah menjadi monster yang menelan segala yang berada di dekatnya, tak peduli apakah korbannya berupa manusia atau harta benda. 

Jutaan nyawa melayang, ribuan hunian tinggal puing-puing. Hingga awal tahun 2019 ribuan pengungsi tinggal di pengungsian, tenda-tenda darurat, hunian sementara yang jauh dari sempurna.

sigi-5c7f51cd12ae9440a622b0e2.jpg

Bayangkan jika kita menjadi mereka. Tak terketukkah hati melihat mereka menderita? Mungkin kita sudah pernah berdonasi sekian rupiah, mengirimkan pakaian layak pakai, melantunkan doa untuk meringankan derita. Tetapi bantuan sepatutnya terus diulurkan hingga mereka, para pengungsi ini bisa kembali hidup layak, memiliki rumah untuk dihuni dan hidup seperti dahulu lagi.

Dengan harapan bisa membantu korban bencana alam Lombok dan Sigi, Yayasan Allianz Peduli mengajak masyarakat untuk berdonasi hunian sementara (HUNTARA) dan toilet individual. Adapun huntara tersebut sangat membantu para korban untuk berteduh karena saat ini mereka tinggal di tenda-tenda dan rumah kurang layak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline