Pelanggan adalah Raja.. masih ingat kalimat itu? atau masih mengalami sampai saat ini sebagai pelanggan? Sampai saat ini kalimat tersebut masih berlaku dan bisa ditemui di banyak tempat. Hal tersebut terjadi sejak adanya perubahan pasar dari product centric ke customer centric. Dulu ketika pasar masih dimonopoli oleh beberapa pihak, pedagang adalah Rajanya, karena customer tidak memiliki pilihan, jadi mau tidak mau harus mau. Namun ketika pasar semakin berkembang dan persaingan semakin padat, customer memiliki banyak pilihan dan akhirnya pedagang pun tidak bisa seenaknya sendiri. Mungkin masih ingat ketika Bank-Bank mulai menjalankan customer service, kemudian diikuti oleh bisnis-bisnis yang lain. Di mana customer mulai dimanjakan dengan serangkaian standard prosedur yang intinya adalah bagaimana membuat customer puas dengan pelayanan yang diberikan, tidak hanya sekedar kualitas produk yang ditawarkan. Namun ketika semua bisnis menerapkan customer service, service akhirnya menjadi standard dan tidak lagi menjadi differensiasi. Maka service yang baik tidak lagi cukup untuk membuat pelanggan puas. Filosofi pelanggan adalah Raja yang harus diservice adalah baik, tetapi ketika baik sudah tidak cukup, maka service harus beralih kepada sesuatu yang ‘luar biasa’. Namun ketika tuntutan customer yang semakin tinggi, service yang luar biasa bukan lagi menjadi jawaban. Mengapa? Karena kepuasan tidak bisa di penuhi hanya dengan memenuhi semua keinginan customer. Bisa jadi pada suatu waktu customer akan mengalami kejenuhan juga karena keinginannya bisa dipenuhi semua, apalagi pada kenyataannya pelanggan juga manusia dan bisa salah.
Karena konsep customer service, pandangan bahwa customer tidak bisa salah dan apapun yang terjadi penuhi saja keinginannya tidak lagi bisa menjadi value saat ini. Karena customer isn’t always right, customer sometimes do wrong even for him/herself. Maka yang diperlukan tidak hanya sekedar memenuhi keinginan customer, tetapi juga CARE dengan customer. CARE berarti bertanya, mendengar, empati, mengerti sekaligus memberikan solusi yang terbaik sesuai dengan kebutuhan customer.
Satu contoh kasus yang menarik adalah Galeri Lexus yang ada di Jakarta, seperti yang kita tahu bahwa Lexus adalah produk mahal yang menawarkan kemewahan luar biasa. Para karyawannya dilatih dan diberikan suatu pemahaman bahwa mereka harus CARE dengan customernya. Suatu kali, ada pelanggan yang sangat senang ke Galeri Lexus karena CARE-nya, pelanggan tersebut merasakan bahwa salesman yang ada di sana sangat welcome dan bisa menjadi friend. Sampai akhirnya pelanggan tersebut ingin memberikan hadiah dengan membeli mobil Lexus, karena dengan demikian salesman tersebut akan mendapatkan komisi dari penjualan mobil. Tetapi Salesman tersebut menolak, dengan alasan mobil pelanggan tersebut sudah banyak (lebih dari 4 mobil) dan tidak semuanya terpakai. Maka Salesman tersebut menolak pelanggan tersebut untuk membeli mobil Lexus. Bagi salesman pada umumnya, salesman di Lexus bisa jadi dianggap gila, karena menolak penjualan mobil yang akan memberikan komisi besar, karena harga mobil Lexus yang mahal. Tetapi karena salesman tersebut tidak hanya memberikan service, tetapi CARE, maka hal tersebut membuat sang pelanggan juga semakin connect dengan Brand Lexus dan semakin memperkuat loyalitas pelanggan tersebut. Seberapa berani para salesman bisa memberikan CARE seperti salesman di Lexus?
Zappos juga menerapkan hal yang sama, tidak hanya memberikan service yang terbaik bagi pelanggannya.. tetapi juga CARE. Tim CS yang dimiliki oleh Zappos diijinkan untuk menerima telpon dari pelanggan sampai berjam-jam, hanya untuk mendengarkan, memahami, empati, dan berusaha memberikan solusi bagi pelanggannya. Bagi perusahaan lain? Bisa jadi hal tersebut tidak efektif, tidak efisien, bahkan pemborosan. Namun bagi Zappos yang DNA-nya delivering Happiness, hal tersebut bukanlah sesuatu yang perlu diributkan. Customer Service hanya sampai kepada SOP dilatih sampai di tingkat pikiran dan persepsi, sementara Customer Care menyentuh sampai tingkat hati dan emosi perasaan customer. Hanya karyawan yang benar-benar bisa menghargai pekerjaannya dan merasa sangat bangga yang bisa menyentuh pada dimensi CARE dan menyampaikan perasaan positif tersebut kepada pelanggannya. Dan hal tersebut bisa terjadi kalau perusahaan bisa memahami nilai aset terbesar yaitu karyawannya dan menghargai karyawannya tidak hanya selayaknya, tetapi lebih kepada kepedulian. Kalau perusahaan peduli dengan karyawan, maka karyawan juga akan menunjukkan kepedulian kepada customernya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H