Vonis tinggal kelas bisa menjadi tragedi kehidupan bagi seorang siswa karena menyangkut persoalan harga diri. Cap bodoh dan malas akan senantiasa melekat dan menyebabkan tekanan psikologis yang berat, seperti: malu hati, rendah diri, minder, merasa paling bodoh, dan merasa tidak disukai teman-temannya. Bagi siswa yang labil, ketidaknyamanan itu bisa menyebabkannya menjadi apatis, malas dan mudah putus asa. Seperti kanker, penyakit apatis akan cepat menyebar dan menggerogoti seluruh bagian tubuh hingga ke fikirannya. Bukannya memberi efek jera, hukuman tinggal kelas malah bisa berbalik membuat anak tidak percaya diri, patah hati dan akhirnya memilih untuk berhenti sekolah.
Tinggal kelas sebenarnya merupakan opsi terakhir bagi seorang siswa yang tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 3 mata pelajaran atau lebih, siswa yang kehadirannya dalam setahun di bawah 85% dari jumlah hari efektif, serta siswa yang sikap dan tingkah lakunya kurang baik di luar batas kewajaran. Itu pun setelah siswa tersebut mendapatkan peringatan dan melewati prosedur yang dilakukan pihak sekolah. Oleh karena itu, vonis tinggal kelas itu sebenarnya sudah bisa diprediksi dari jauh-jauh hari sebelum pengumuman kenaikan kelas berdasarkan penilaian yang dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung (dari aspek pengetahuan, sikap ataupun keterampilan).
Ketika gejala-gejala tinggal kelas sudah terdeteksi, yang perlu dilakukan adalah segera memulihkan kembali rasa percaya diri siswa untuk mengatasi kesulitan belajarnya. Pembelajaran perbaikan (remedial) harus segera dilakukan untuk membantu peserta didik mengatasi kesulitan terhadap penguasaan materi pada kompetensi dasar (KD) tertentu yang sedang berlangsung sebelum kesulitan belajar tersebut berubah menjadi penyakit apatis yang akut.
Pada kenyataannya, banyak guru yang salah kaprah, remedial dilakukan ketika nilai ujian tidak mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), siswa didudukan kembali menghadapi soal ujian yang sama, lalu siswa pasrah melakukan sebisanya, dengan hasil yang lebih parah, dan ujung-ujungnya siswa (terpaksa) dituntaskan dengan nilai sesuai KKM. Padahal guru dapat langsung melakukan pembelajaran remedial sesuai dengan kesulitan peserta didik tersebut, tanpa menunggu hasil ujian.
Setiap guru mengharapkan semua siswa didiknya dapat menguasai kompetensi yang telah ditentukan. Tapi pada kenyataannya, dalam proses belajar mengajar selalu dijumpai adanya anak yang berbakat, berkemampuan tinggi dan cepat menangkap pelajaran, dan ada pula yang sebaliknya, kurang berbakat, berkemampuan pas-pas-an dan lambat. Di samping itu, mereka memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, berdasarkan permendikbud No. 65 tentang Standar Proses, No. 66 thn 2013 tentang standar penilaian, setiap pendidik hendaknya memperhatikan prinsip perbedaan individu (kemampuan awal, kecerdasan, kepribadian, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, gaya belajar). Atas dasar ini perlu ada perlakuan yang bersifat individual dalam proses belajar mengajar.
Maka dalam hal ini, pembelajaran remedial dilakukan untuk memenuhi kebutuhan individual atau hak siswa. Bila siswa mendapat kesempatan belajar sesuai dengan kepribadiannya, diharapkan siswa tersebut dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
Remedial berasal dari bahasa Inggris "remedy" yang artinya menyembuhkan. Pengajaran remedial adalah suatu bentuk pengajaran yang bersifat menyembuhkan, membetulkan atau membenarkan. Program pembelajaran ini diberikan kepada peserta didik yang belum mencapai kompentensi minimal dalam satu kompetensi dasar tertentu. Penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan siswa hidup dalam tekanan dan stress.
Stress dapat menyebabkan penurunan enegi yang tersedia bagi otak secara signifikan, menyebabkan kehilangan daya ingat, sehingga apapun informasi yang disampaikan akan susah untuk dicerna dan sulit untuk dipahami. Dengan kata lain, yang disembuhkan atau yang dibetulkan di sini adalah beberapa hambatan atau gangguan kepribadian yang berkaitan dengan kesulitan belajar sehingga dapat timbal balik dalam arti perbaikan belajar juga perbaikan pribadi dan sebaliknya.
Pembelajaran remedial dilaksanakan di luar jam pelajaran efektif atau ketika proses pembelajaran berlangsung. Guru berperan sebagai instruktur, konselor, petugas psikologis, sebagai media, sebagai sumber, dan sebagainya. Guru membantu siswa, untuk memahami kesulitan belajar yang dihadapinya, mengatasi kesulitannya tersebut dengan memperbaiki cara belajar dan sikap belajarnya. Teknik pembelajaran remedial bisa diberikan secara individual maupun secara berkelompok. Strategi pembelajaran yang digunakan dapat bervariasi sesuai dengan sifat, jenis, dan latar belakang kesulitan belajar yang dialami.
Menurut Suharsimi Arikunto (2002) dalam bukunya Pengelolaan Kelas dan Siswa, adakalanya seorang siswa lebih mudah menerima keterangan yang diberikan oleh kawan sebangku atau kawan yang lain karena tidak adanya rasa enggan atau malu untuk bertanya, guru dapat meminta bantuan kepada siswa yang lebih tinggi kemampuannya untuk menerangkan kepada kawan-kawannya. Pelaksanaan ini disebut tutor sebaya karena mempunyai usia yang hampir sebaya.