Dagelan yang dimainkan oleh Pansus Century segera memasuki episode akhir.
Para wakil rakyat anggota dewan yang terhormat yang saling berseteru bak selebritis sibuk menjual dan membentuk opini masyarakat, dan seperti biasa, selalu mengatasnamakan rakyat.
Sebagaimana bisa disaksikan oleh penonton seluruh Indonesia, fokus kerja pansus bukan bertujuan mengejar siapa maling uang rakyat dan kemana uang 6,7 T itu ditilep, melainkan mencari kesalahan orang yang bertugas pada saat itu. Itu yang saya sebut sebagai logika terbalik.
Namun mari memaklumi hal tersebut karena sebagai representasi fraksi partai politik, anggota dewan tidak lepas dari kepentingan partai politik yang dipakai sebagai kendaraannya.
Kekisruhan politik nasional kita sebenarnya bermula ketika SBY memilih Boediono sebagai pasangan cawapresnya. Dalam pemilu 2009 posisi wapres akan sangat-sangat menentukan peta politik pada tahun 2014.
Begitu selesai pemilu legislatif yang memastikan kemenangan Partai Demokrat, wapres saat itu JK yang sekaligus masih Ketum Golkar segera melakukan PDKT dengan harapan agar bisa tetap menjadi pasangan SBY dalam pilpres. Hasilnya nihil, PD tidak ingin berpasangan dengan PG lagi. PDIP yang sejak awal memposisikan sebagai oposisi PD sudah jelas tidak mendapat posisi. Dengan demikian, ranking berikutnya PKS menaruh harapan besar kadernya akan mendapa posisi wapres.
Apa mau dikata, SBY tidak rela memilih salah satu partai politik lain sebagai "putera mahkota"nya. Siapapun yang menjadi wapres pada 2009 - 2014 akan menjadi incumbent yang sangat diuntungkan pada pemilu 2014 nanti dikarenakan sesuai konstitusi SBY tidak bisa dipilih kembali lagi setelah menjabat 2 periode.
Dengan mengangkat Boediono sebagai wapres, SBY membiarkan partai-partai politik yang ada bertarung dengan starting point sama-sama nol (zero). Itulah mengapa kita bisa melihat inisiator pansus Century sejak awal sebenarnya sudah memasang target tunggal, "menjatuhkan wapres Boediono". Posisi wapres jauh lebih penting daripada koalisi di parlemen, itulah pertaruhan besarnya.
Mari melihat bagaimana skenario besarnya dan potensi beberapa partai-partai politik menuju 2014
PDIP sebagai runner up pemilu legislatif 2009 sejak 2004 sangat konsisten memposisikan sebagai partai oposisi. Persepsi masyarakat terhadap partai oposisi adalah berlawanan dengan partai berkuasa. Semakin kinclong partai berkuasa, semakin tenggelam partai oposisi. Sebaliknya semakin payah kinerja partai berkuasa, partai oposisi akan semakin menjadi tumpuan harapan rakyat yang frustasi.
PG sepanjang sejarahnya adalah bagian dari pemerintah yang berkuasa. PG mencapai titik nadir ketika Presiden Suharto dipaksa turun pada tahun 1998. Ketua umum PG pada saat itu Akbar Tanjung dengan susah payah berhasil mengembalikan pamor PG, dilanjutkan dengan kiprah JK sebagai wapres yang dinilai sukses dalam periode 2004 - 2009. Beberapa pihak mensinyalir ketum PG saat ini ARB memanfaatkan partai berlambang pohon beringin ini untuk kepentingan pribadi dalam perseteruannya dengan SMI. Sepak terjang PG saat ini mengingatkan orang kembali akan sifat PG yang haus kekuasaan, dan mencampuradukkan penguasa dan pengusaha. Langkah petinggi PG (SP dan SHB X) mendeklarasikan ormas Nasional Demokrat bisa dilihat sebagai ketidakpercayaan kepada arah yang ditempuh PG saat ini.