Salah satu acara ritual setiap tahun bagi hampir segenap penyelenggara pemerintahan adalah "Perayaan Status WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)" yang diterima dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
Salah satu model selebrasi yang dilakukan adalah dengan merilis berita di berbagai media agar predikat ini dapat diketahui khalayak. Ada upaya membuat kesan bahwa Kepala Pemerintahan yang bisa menyandang status WTP ini adalah pemerintahan yang telah dikelola dengan baik alias tidak melakukan praktek korupsi.
Menariknya, beberapa kasus di tanah air malah mencatat adanya Kepala Daerah yang dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selang tak lama setelah Daerahnya mendapat anugerah status WTP.
Mari kita tengok kasus di Kabupaten Karangasem misalnya.
Daerah ujung timur Pulau Dewata ini dalam pemberitaan di media disebutkan berhasil mempertahankan predikat WTP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) untuk Tahun Anggaran 2020. Keberhasilan ini menjadi keenam kalinya secara berturut-turut, 5 diantaranya adalah dibawah kepemimpinan Bupati IGA Mas Sumatri.
IGA Mas Sumatri sendiri selesai menjabat sebagai Bupati Karangasem sekitar Bulan Februari 2021. Namun raihan WTP yang disabet semasa pemerintahannya, rupanya tak menyurutkan Kejaksaan Negeri Karangasem dalam mengendus beberapa kasus maling uang negara. Diantaranya kasus bedah rumah yang telah menyeret Kades Tianyar Barat untuk mendekam di balik jeruji besi. Dan ada lagi sebuah kasus yang sedang menunggu pengumuman tersangka, yaitu menyangkut pengadaan masker untuk bantuan masyarakat disaat pandemi tahun 2020.
Hal diatas membuktikan bahwa predikat WTP tidak menjamin penyelenggaraan pemerintahan bebas dari praktek korupsi. Sementara glorifikasi peraihan predikat WTP seolah menjadi sebuah deklarasi bahwa Pemerintahan yang berhasil mendapat predikat WTP adalah pemerintahan yang diselenggarakan secara jujur dan amanah tanpa adanya praktek korupsi.
Sehingga tak jarang predikat WTP menjadi alat propaganda politik untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa pemimpin tersebut mengelola anggaran dengan cara yang benar, jujur dan amanah serta layak untuk dipilih kembali.
Dalam ilmu logika hal ini disebut sebagai sesat pikir dengan pola otoritas (Logical Fallacy Authority).
Sesat pikir adalah kondisi seseorang yang memiliki kesalahan dalam berpikir, dalam menerima argumen sehingga masuk dalam sebuah perangkap logika.
Sesat berpikir otoritas menjebak pikiran orang untuk menerima sebuah argumen menjadi sebuah kebenaran saat argumen itu disampaikan oleh seseorang yang memiliki otoritas. Misalnya kalimat,"Pasta gigi ini terbaik karena direkomendasi oleh dokter gigi". Seolah-olah pasta gigi lainnya yang tidak mendapat rekomendasi dokter gigi lebih buruk kualitasnya.