Presiden Seumur Hidup, Panglima Besar Revolusi Bung Karno menerapkan politik Nasakom dengan dalih untuk persatuan bangsa.
Sejak saat itu Komunis seolah mendapat angin segar. Bung Karno pun mulai terasa agak ke kiri-kirian terlebih politik internasional kita condong bersandar pada poros Peking - Pyong yang.
Angkatan Darat (AD) pun mulai pasang kuda-kuda. Meski loyalitas pada Presiden tak perlu diragukan, namun untuk urusan politik AD siap berhadapan dengan PKI.
Bung Karno sendiri sebenarnya mendukung PKI karena kepentingan politik.
Meskipun Sukarno terlihat memiliki kedekatan, bahkan sering seolah memberikan dukungan kepada PKI, hubungannya dengan PKI hanya sebatas kepentingan politik.
Harold Crouch dalam buku Patrimonialism and Military Rules in Indonesia menyatakan bahwa Sukarno mendekati PKI dalam rangka menandingi kekuatan militer.
Saat itu, Bung Karno muncul bukan sebagai figur yang memiliki basis organisasi kuat. PNI yang merupakan partainya terdahulu merupakan partai para priyayi yang tidak memiliki akar kuat di masyarakat.
Kedekatan Sukarno dengan PKI tidak serta-merta membuatnya dekat dengan Ketua PKI, DN Aidit. Sejarawan Belanda, Antonie C.A. Dake, dalam buku In the Spirit of Red Banteng, menyatakan bahwa Bung Karno tidak suka pada Aidit karena menurutnya Aidit terlalu ambisius.
Malah Soekarno lebih dekat dengan Wakil Ketua PKI, Njoto, dibanding dengan Aidit.
Sukarno dekat dengan PKI dalam rangka menarik perhatian Amerika Serikat Kedekatan PKI dengan Soekarno seolah-olah mengindikasikan bahwa Soekarno lebih dekat dengan Uni Soviet dalam konteks Perang Dingin. Namun, sebagaimana dilansir dari cia.gov, kedekatan Sukarno dengan PKI ternyata merupakan upayanya untuk menarik perhatian Amerika Serikat.
Indonesia yang saat itu menyatakan "Ganyang Malaysia" membutuhkan dukungan dari negara lain untuk berperang melawan Malaysia. Dengan mendukung PKI, Bung Karno berharap bahwa Amerika Serikat melihatnya telah berpaling ke komunisme sehingga perhatian Amerika Serikat dialihkan ke Indonesia.