Kejahatan bukanlah sesuatu yang asing terdengar bagi kehidupan manusia karena kejahatan sungguh dialami oleh manusia yang hidup dimuka bumi. Didalam diri setiap manusia memiliki dimensi immoral yang memunculkan potensi untuk bertindak jahat. Beragam macam tindak kejahatan yang terjadi di muka bumi meneguhkan bahwa tindakan kejahatan sudah ada dalam struktur pikiran manusia itu sendiri.
Walaupun tak dapat dipungkiri manusia juga memiliki sisi baik dalam dirinya. Menentukan kekuatan potensi untuk berbuat jahat dan berbuat baik tergantung dari manusia itu sendiri. Menjalani kehidupan yang baik, indah dan damai adalah keinginan dari setiap manusia yang hidup di muka bumi.
Manusia percaya bahwa ada nya Tuhan didalam hati dan akal nya menciptakan alam semesta dan isinya dengan kebaikan. Manusia percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Pengasih dan Maha Penyayang lalu sebagian manusia bertanya-tanya ; "Lantas mengapa masih ada kejahatan di dunia yang diciptakan dengan baik oleh Tuhan ini?". "Jika Tuhan ada, bagaimana mungkin kejahatan mondar-mandir dalam kehidupan kita?"
Gottfried Wilhelm Leibniz mengungkapkan permasalahan terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan (teodisea), secara rasional teodisea merupakan usaha untuk 'membenarkan' bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Maha Baik di hadapan realitas kejahatan yang ada di dunia ini. Ketika melihat realitas kejahatan di dunia, timbul pertanyaan, "kalau Tuhan Maha Baik dan Maha Kuasa, mengapa Ia tidak menghilangkan kejahatan di muka bumi?".
Dalam teodise-nya Leibniz mengemukakan bahwa kebenaran filsafat sesungguhnya harus sesuai dengan kebenaran teologi sebab akal dan iman adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah.
Dengan pernyataan ini, maka tidak mungkin bahwa akal bertentangan dengan iman. Walaupun demikian, pernyataan iman yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Maha Baik dan Maha Kuasa sering bertentangan dengan adanya kenyataan kejahatan yang ditangkap oleh akal manusia.
Selain itu terdapat pula fenomena tentang orang yang baik mendapatkan celaka sementara orang yang jahat sering menerima kebahagiaan sehingga akal manusia bereaksi terhadap beberapa kenyataan tersebut.
Leibniz mengatakan dari semua dunia yang mungkin, Tuhan telah menciptakan yang paling baik. Dalam dunia ini mesti ada kejahatan. Manusia diciptakan tidak sempurna, dan dalam ketidaksempurnaan ini, dia bisa memilih kejahatan moral. Karena dunia juga tidak sempurna, maka manusia menjadi korban kejahatan fisik.
Bisa jadi dunia aktual ini merupakan penciptaan yang paling baik dari banyak dunia yang mungkin diciptakan. Namun disisi lain, tidak dapat disangkal bahwa kejahatan juga ada dan terjadi di dunia ini. Mendefinisikan kejahatan sebagai tiadanya sesuatu yang hilang/ketiadaanya akan sesuatu tidaklah sama dengan menyatakan bahwa kejahatan tidak ada.
Kejahatan memang ada: maksud ada disini adalah bukan sebagai sesuatu, melainkan sebagai hilangnya sesuatu. Bisa jadi kejahatan bisa disandingkan seperti kegelapan: kegelapan pada diri setiap manusia bukanlah sesuatu, melainkan situasi di mana terang tidak ada. Terang itulah yang merupakan sesuatu, sedang kegelapan bukanlah sesuatu.
Menurut Leibniz, kehendak manusia bebas bukan hanya dari paksaan ada hal lain seperti keniscayaan. Sebuah tindakan yang bebas tidak didorong oleh keterpaksaan dan sebuah tindakan yang bebas juga tidak dicegah untuk memiliki pikiran bebas saat sedang membuat pertimbangan. Kehendak bebas manusia tidak terikat pada paksaan yang berasal dari rantai sebab-akibat.