JUDUL : Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)
PENULIS : Dr. H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag.MH
PENERBIT : Aswaja Pressindo
TAHUN TERBIT : 2013
Buku yang berjudul "Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni)" karya Dr. H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag.MH adalah buku yang menyajikan tentang hukum Waris Islam di Indonesia dan perkembangannya. Kemudian di dalamnya terdapat beberapa bab terkait hukum kewarisan Islam di Indonesia, pembagian waris, serta wasiat dan hibah. Yang kesemuanya itu merujuk terhadap Kompilasi Hukum Islam bagian Kewarisan yang masih banyak dikemas dalam keyakinan atas hukum/fiqih klasik sunni.
Lahirnya hukum waris Islam bersamaan dengan penetapan Tuhan pada wahyunya (Al-Qur'an) sebagai dasar pembagian waris yang dikenal dengan istilah al-farid. Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab dengan bentuk masdar al-irts dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Maknanya adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka. Fiqh klasik sering menyebut istilah hukum kewarisan atau segala yang berkaitan dengan hukum kewarisan menyebutnya dengan hukum farid jamak dari lafaz "faridah" dengan makna ``mafrudah`` yang bila diterjemahkan adalah bahagian-bahagian yang telah ditentukan. Istilah terakhir ini menjadi makna syar'iyah di kalangan yuris Islam klasik. Terkadang para yuris Islam menamainya untuk bahasan itu adalah dengan sebutan fiqh mawaris dalam bentuk jamaknya adalah mirats artinya harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.
Istilah "faraid" menunjuk pengertiaan adanya ketentuan yang setiap orang yang menjadi ahli waris, dengan maksud sesuai apa yang telah ditetapkan dalam wahyu Allah sebagai dokumen suci atau norma hukum. Kemudian melaksanakannya dianggap melaksanakan perintah ketaatan agama, seperti dalam H.R Muslim yang artinya "Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Al Munkadir dia berkata, aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjengukku ketika aku sakit tak sadarkan diri, lalu beliau berwudlu dan memercikkan air wudlunya kepadaku, sehingga aku pun sadar. Kemudian aku berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana aku mewariskan harta peninggalan? Maka turunlah ayat tentang warisan." Aku (Syu'bah) bertanya kepada Muhammad bin Munkadir, "Apakah (yang turun) Yastaftuunaka Qulillah Yuftiikum Fil Kalaalah (Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah) '? (Q.S. An-Nis:176). Dia menjawab, "Seperti inilah ayat ini diturunkan." Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami An-Nadlr bin Syumail dan Abu Amir Al 'Aqadi. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jarir semuanya dari Syu'bah dengan isnad ini dalam haditsnya Wahb bin Jarir, disebutkan, 'lalu turunkah ayat faraidl (pembagian harta warisan).' Sedangkan dalam hadits An-Nadlr dan Al 'Aqadi, disebutkan, 'Lalu turunlah ayat fardl.' Dan dalam riwayat mereka berdua (tidak disebutkan) perkataan Syu'bah kepada Ibnu Munkadir".
Dalam hadis lain, Rasulullah saw menganjurkan untuk mempelajari ilmu Faraid (hukum waris Islam) sebagai bagian dari pengajaran agama Islam. Ketentuan besaran bagian bagi ahli waris pun telah disebutkan secara rinci di dalam Al-Qur'an, yaitu dalam Q.S. al-Nis ayat 7, 11, 12, 33 dan 176. dimana dalam ayat-ayat tersebut memunculkan pemahaman produk dalam hukum waris Islam seperti sebutan ashabu al-furud, 'asobah, dzawu al-furud, dzawul al-arham, furud al-muqaddarah yang secara sistematik mudah untuk dipahami. dengan demikian memahami hukum waris Islam (ilmu faraid) sesungguhnya tidak lain mempelajari maksud-maksud ayat Al-Qur'an tentang kewarisan.
Hukum Waris Islam merupakan bagian dari hukum keluarga dalam hukum Islam (bbu al-fiqh al farid). Sebagaimana pada ranah kajian hukum keperdataan di Indonesia, hukum waris dikaitkan dengan hukum keluarga. Dengan kata lain, hukum waris Islam masuk bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Pada masa Pemerintahan VOC sendiri pernah memerintahkan kepada D.W. Freijer untuk menyusun Conpendium yang memuat hukum Perkawinan Islam dan Kewarisan Islam dengan diperbaiki dan disempurnakan oleh tokoh yuris Islam masa itu. Kitab hukum tersebut secara resmi diterima oleh pemerintah VOC tahun 1706 dan dipergunakan oleh Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah kekuasaan VOC. Kitab tersebut dikenal dengan Compendium Freijer. Sebagai hukum materil menyangkut Perdata Islam yaitu Civiele Wetten der Mohammeddaansche dan telah mendapatkan legalitas pemberlakuannya secara positif melalui Resolutie der Indische Regeering (VOC) tanggal 25 Mei 1760.
Berdasar alasan dengan pengakuan hukum Islam di zaman Belanda berakibat lahirnya teori Receptio in complexu bahwa hukum Islam berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam yang dijadikan standard politik hukum Belanda. Namun saat itu terjadi pencabukan kewenangan Pengadilan Agama atas masalah kewarisan, kewenangan tersebut diserahkan kepada Pengadilan Umum dengan pertimbangan bahwa hukum waris Islam belum menjadi hukum adat. Dan selama masa pencabutan kewenangan tersebut, umat Islam di Indonesia menyelesaikan sengketa waris hanya bersifat adat dalam sistem masyarakat Islam atau dengan cara harus ke pengadilan umum yang sesungguhnya tidak dipercaya mampu menyelesaikan sengketa kewarisan Islam bagi umat Islam. Kemudian sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, semua sengketa waris, perwakafan, hibah, harta bersama perkawinan maupun yang terkait dengan ekonomi syariah, Pengadilan Agama dapat memutusnya secara keseluruhan.
Sementara, dalam masyarakat adat selain hukum waris Islam, dikenal pula pembagian kewarisan secara adat. Sebagai berikut:
- Sistem kewarisan individual, bercirikan adanya pembagian harta kepada orang-orang yang berhak baik dalam sistem pembagian patrilinial misalnya masyarakat di tanah Batak, matrilinial ataupun bilateral pada masyarakat jawa umumnya. Konsekuensinya ketika hukum waris Islam diterapkan akan berakibat sejumlah orang menjadi tertutup kemungkinan untuk memperoleh hak waris atau sejumlah keuntungan pembagian menjadi berkurang.
- Sistem kewarisan kolektif yang bercirikan harta yang tak dibagi-bagi di antara sekumpulan ahli waris kecuali untuk dimanfaatkan secara produktif terutama terhadap mereka yang lebih memerlukannya seperti masyarakat matrilineal di Minangkabau. Konsekuensinya, sikap kekerabatan di antara mereka sejak lama telah terpupuk dan bisa jadi, ketika hukum Islam diterapkan, mereka sebagai pemeluk agama Islam akan melaksanakannya dengan membuka kemungkinan perdamaian pembagian harta warisan, jika ini yang mereka sepakati, situasi tertentu seperti harta waris yang dianggap sedikit atau karena dianggap kurang produktif adalah situasi yang akan mendukung terjadinya perdamaian pembagian (Ishlah).
- Sistem kewarisan mayorat yang bercirikan anak tertualah yang menguasai seluruh atau pokok harta pewaris setelah meninggalnya seperti masyarakat patriliial beralih-alih di Bali. Konsekuensinya, hak mereka akibatnya dikurangkan. Hukum adat ini memungkinkan orang tua tertentu sebelum meninggalnya ada kemungkinan menghibahkan sebagian hartanya kepada anak tertua dimana unsur kekerabatan amat dekat dengan anak tertua yang sejak lama didukung oleh kebiasaan hukum adat sebelum hukum Islam diterapkan. Sebenarnya bisa pula terjadi bagi masyarakat yang sebelum menerapkan sistem kewarisan individual patrilinial, matrilinial ataupun bilateral karena pada dasarnya hukum waris Islam walaupun belakangan secara teoritis disebut dengan sistem kewarisan individual bilateral, tetap merupakan sistem baru yang berbeda dengan sistem kewarisan individual bilateral dalam kewarisan adat karena substansi tujuan keadilan tetap berbeda.