Lihat ke Halaman Asli

Sepak Bola Indonesia Belum Merdeka!

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Fakta menyesakkan kembali harus ditelan masyarakat Indonesia. Tim Nasional “Garuda” tak berdaya untuk sekadar mengalahkan kesebelasan Laos. Hanya bermain imbang 2-2 melawan negara yang selama ini kita anggap gurem tentu sulit untuk bisa diterima.

Okelah, timnaskitapergi bertanding di tengah atmosfer persepakbolaan Tanah Air yang sedang gonjang-ganjing. Perseteruan KPSI vs PSSI yang seperti sumur tanpa dasar, tak ada ujungnya. Itu mungkin sedikit “pemakluman” yang boleh kita ajukan. Tetapi, mari kita bandingkan dengan Irak. Negara Saddam Hussein itu berhasil menjadi kampiun di Piala Asia 2007 saat situasi politik negara itu justru sedang bergejolak hebat. Ini jelas bukan semata faktor keberuntungan, karena sebuah tim tidak akan pernah bisa lolos hingga ke partai final dan menjadi juara jika hanya mengandalkan keberuntungan. Artinya, tidak ada alasan untuk tidak berprestasi sejauh kita berkeinginan dan betul-betul menjalankan apa yang seharusnya dijalankan untukbisamenuai prestasi.

Melihat kenyataan yang ada, rasanya kita sangat layak untuk mengatakan bahwa persepakbolaan Indonesia masih jauh dari kata merdeka. Baik kita garis bawahi, ini bukan persoalan politis. Ini lebih kepada persoalan karakter masyarakat sepak bola Indonesia yang—meminjam istilah ahli postcolonial Gayatri Spivak—masih terkena “virus” subaltern. Betapa sepak bola Indonesia—dengan subjek-subjek yangada di dalamnya—sangat tertekan, lemah, dan marginal. Tertekan oleh superioritas bangsa-bangsa lain yang terlihat “begitu mudah” membina sepak bola hingga menghasilkan prestasi yang membanggakan. Juga tertekan oleh kepentingan-kepentingan para pemilik modal dan kekuasaan. Kita sepertinya “rela” dipermainkan begitu saja oleh politik “devide et impera” ala pengusaha kelas kakap yang punya kepentingan, entah apa kepentingan itu. Buktinya itu tadi, alih-alih membangun kekuatan tim nasional, konflik PSSI vs KPSI justru masih saja berlangsung.

Dampaknya, sepak bola kita begitu lemah ketika harus berjibaku di lapangan memperebutkan prestasi yang selama ini diharapkan. Praktis, ketika sudah sekian lama tak berhasil mengukir prestasi, sepak bola kita pun menjadi terpinggirkan. Jangankan di lingkup internasional, bahkan “hanya” di kawasan regional pun kita sudah semakin ditinggalkan. Belum lagi kalau bicara soal “profitisasi” sepak bola, masih jauh panggang dari api.

Kita boleh saja menyangkal, bahwa selama ini kita pun terus berjuang untuk bisa berbicara banyak di kancah internasional. Bukti-bukti bisa kita ajukan. Semisal, upaya mengelola liga dengan professional plus mendatangkan pemain-pemain naturalisasi yang kebanyakan berasal dari Belanda. Ya! Tetapi sialnya, justru itulah salah satu bentuk lain dari masih terjajahnya jiwa dan pemikiran bangsa kita—lebih tepatnya pikiran para petinggi asosiasi persepakbolaan Indonesia.Bahwa seorang berkulit bule dan postur tinggi khas londo seakan-akan bisa menjamin prestasi untuk persepakabolaan negeri ini.

Tanpa mengurangi respek kepada Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim Cs, tidakkah kita punya talenta-talenta unggulan asli Indonesia yang sanggup bersaing dengan, maaf, “ras” lain yang kita anggap lebih jago? Kalau boleh sedikit menoleh ke belakang, sejak pengujung dekade ‘50-an hingga ’70-an, persepakbolaan kita buktinya bisa merajai Asia dengan hanya bermaterikan pemain lokal. Tetapi, para petinggi persepakbolaan Indonesia sekarang nyatanya lebih senang mendatangkan pemain blasteran yang secara tampilan memang lebih “ngartis”. Tak peduli walaupun di Eropa sana mereka hanya sekelompok pemain yang berlaga di kompetisi level bawah.

Kalau begini terus keadaanya, kapan persepakbolaan kita akan merdeka dan berprestasi? Apakah kita hanya pantas jadi bangsa penonton? Lalu menjadi fans fanatik tim-tim sepak bola asing (baca: Eropa) dan menghiasi diri dengan merchandise tim favorit yang dibeli dengan harga mahal? Alangkah mirisnya…




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline