Penggunaan hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu yang beberapa waktu lalu sempat hangat diperbincangkan, rupa-rupanya ditinggalkan hanya sebatas narasi. Partai politik yang bertanggung jawab atas isu itu tampak lebih sibuk mengkalkulasikan suara elektoral. Buaian politisi terhadap penggunaan hak angket sebagai hak konstitusional anggota DPR pada akhirnya layu sebelum berkembang.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas 26-28 Februari 2024, sekitar 62,2 % masyarakat menginginkan agar hak angket digunakan dalam rangka menyelidiki dugaan kecurangan pemlu 2024. Data tersebut bisa dibaca sebagai upaya masyarakat mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Lacurnya, keinginan itu tidak sejalan dengan kepentingan partai politik yang hanya memaknai pemilu sekedar hitung-hitungan kuantitatif bukan kualitatif.
Masyarakat tidak punya intensi terhadap kemenangkan maupun kekalahan dalam kontestasi pemilu. Masyarakat hanya ingin melihat bagaimana pemilu dijalankan sebagaimana mestinya. Keinginan itu sejalan dengan amanat konstitusi bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umumm bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Untuk membuktikan apakah penyelenggaraan pemilu telah sesuai dengan amanat tersebut, dibutuhkan ruang bersama yang bisa dilihat dan diawasi oleh masyarakat itu sendiri. Ruang itu bernama "hak angket".
Pengentalan pragmatisme politik
Partai politik pengusung dan pendukung hak angket kelihatannya masih menghitung kalkulasi politik bilamana hak angket benar-benar digulirkan. Kalkulasi politik semacam itu dapat dibaca sebagai pragmatisme politik. Keuntungan apa yang akan didapatkan jika hak angket terlaksana atau kerugian seperti apa yang dirasakan partai politik pengusung/pendukung hak angket. Penulis hakkulyakin, pembicaraan semacam itulah yang sedang menghiasi perdebatan rapat-rapat partai politik belakangan ini.
Dalam politik, pragmatisme adalah hal yang biasa. Namun jangan kemudian pragmatisme itu berubah menjadi oportunis yang sekedar membulatkan agregasi keuntungan politik menjadi satu-satunya mata uang. Politik harus didasarkan pada nilai (value), dimana nilai itu akan bermuara pada pengakomodasian kepentingan rakyat untuk memetakan arus politik formal. Jangan dibalik seakan-akan politik oportunis mendahului politik etis.
Platform seperti hak angket seharusnya digunakan sejak jauh-jauh hari ketika kecurangan pemilu sudah mulai terendus. Penggunaan hak angket tidak saja memberikan legitimasi terhadap hasil pemilu 2024, melainkan juga semacam cerminan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia telah bekerja didalam bingkai kepemiluan.
Sejalan dengan pemikiran James A. Robinson, mengutip dalam bukunya Why Nation Fail? (2014) bahwa salah satu faktor negara dianggap berhasil ketika sistem politik bekerja secara demokratis. Hak angket merupakan bagian dari sistem politik dan sistem ketatanegaraan. Ketika keduanya berpartisipasi secara aktif mengontrol suatu penyelenggaraan negara, dalam hal ini pemilu, maka boleh dianggap negara tersebut sebagai negara berhasil, dan begitu sebaliknya.
Pertaruhannya sekarang adalah maukah partai politik menanggalkan egonya dalam bentuk kepentingan jangka pendek itu, demi mewujudkan sistem politik yang demokratis. Sudikah partai politik yang mempunyai kuasa di parlemen yang selama ini di cap sebagai stempel pemerintah itu tergerak nuraninya menunaikan harapan rakyat itu lewat penggunaan hak angket. Saat ini pluit tanda dimulainya permainan ada di tangan partai politik. Tinggal memilih, apakah selamanya rela dicap sebagai sarang dan sumber kebobrokan negara atau berpindah kepangkuan masyarakat dalam upaya membenahi bangsa.
Rekonstruksi peradaban demokrasi