Lihat ke Halaman Asli

Kepergianmu

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu begitu berbeda dari biasanya. Hatiku gelisah memikirkan cowok yang sangat aku cintai. Dafi, dafi dan dafi kenapa kau begitu berubah?Kenapa kau tak seperti dulu? Kemana dirimu yang sesungguhnya? Apa salahku padamu hingga kau tega berbuat ini padaku?

Di kala senja ku duduk termenung di teras sambil menatap terbenamnya sang fajar. Hingga kini hari pun mulai gelap seperti hatiku saat ini. Sembari merebahkan tubuh kutatap dunia dengan penuh kegalauan. Keresahan hati yang tak kunjung usam dari benakku ini sedikit terobati oleh sang rembulan yang tulus menyinari dunia di malam hari.

Pagi pun tiba, tanpa tersadar ku telah bangun kesiangan. Aku pun bergegas pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi kuliah. Setelah semuanya telah siap kini ku melangkahkan kaki menuju depan rumah berharap Dafi datang menjemputku. Tapi apa daya hari semakin siang, tak mungkin lagi aku menunggunya terus. Akhirnya ku putuskan untuk pergi dengan berjalan kaki sambil menghirup udara segar di pagi hari.

Sesampainya di kampus aku langsung menuju kelas untuk mengikuti mata kuliah yang sangat tidak aku sukai yaitu Statistika. Setelah mengetok pintu aku pun langsung minta maaf ke dosen karena terlambat. Tapi apa daya, sang dosen bersikap seolah tak peduli ada aku disana. Aku sebel banget dengan sikapnya. Tanpa pikir panjang aku pun bergegas keluar kelas tanpa seizinnya. Belum sampai di pintu beliau memanggilku.

“Hai kamu, mau kemana?”, ujarnya (dengan nada lantang).

“sssssaaaaaayyya pak?”, balasku (sambil membalikkan tubuh dan gemeteran).

“Iya. Siapa yang suruh kamu keluar? Sudah sekarang duduklah?” katanya (sembari menulis lagi di papan tulis).

“Makasih pak.” Kataku pada beliau (embari berjalan menuju tempat duduk).

Kini waktu pun berakhir dan aku pun berjalan menuju tempat biasanya. Yaitu tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu untuk bergurau dengan sesosok orang yang sangat aku sayangi. Sesampainya disana aku langsung memesan makanan dan minuman. Kemudian aku duduk sembari menunggu pesananku datang. Tak terasa pesananku pun telah datang. Dan kini aku langsung makan. Setelah selesai aku lekas membayarnya dan pergi dari sana. Saat di jalan aku bertemu dengan Rizal. Dia adalah sahabat karib Dafi. Kami pun berbicang-bincang di jalan.

“Hai Fia? Apa kabar?”, kata Rizal padaku.

“Hai juga, aku baik-baik aja kok. Kalau kamu apa kabar?”, balasku.

“Baik juga kok, kok wajahmu muram sekali? Dan kenapa matamu? Habis nangis ya?”, ucapnya (sambil memandangiku).

“Gak apa-apa kok. Ini kan kamu yang tonjok jadi gini dech”, candaku.

“Oh iya. Kemarin kita kan habis tarung bebas ya. Sampai lupa nih”, balasnya (dengan nada keras).

“Haduh, gimana si kamu. Perasaan baru kemarin kita tarung kok sudah lupa sih”, kataku (sambil tertawa).

“Nah gini dong. Kan dilihatnya enak, wajahmu jadi segar banget. Kayak sayur yang baru masak”, ucapnya.

“Kamu ada-ada aja zal. Mana ada matahari di malam hari. Kalau ada ntar bulan nya gimana?”, tanyaku.

“Ada lah. Kan mataharinya kamu,” balasnya.

“Kamu apaan sih zal. Jangan bilang gitu. Bye the way, Dafi kemana sih?”, tanyaku.

“Hmmmm…Aku gak tahu, dah dulu ya. Aku mau pergi duluan ya bye”, jawabnya (sambil lari).

“Eh zal, kok kamu kabur sih. Kan belum kamu jawab pertanyaanku ini”, ujarku.

Dengan rasa kecewa aku pun langsung pulang. Terlintas di benakku untuk datang ke rumah Dafi. Tanpa pikir panjang aku pun langsung kesana. Padahal aku suda di peringatkan olehnya untuk tak datang ke rumahnya. Sampai disana aku tak menemukannya. Tapi aku sempatberbincang-bincang dengan pembantunya.

“Spada...spada…spada”, kataku (sambil mengetok pintu).

“Iya sebentar”, (sambil membukakan pintu).

“Dafi nya ada?” tanyaku.

“Maaf aden gak ada”, (menutup pintu).

“Sebentar bi. Tolong izinkan aku bertemu dengannya. Ini penting sekali. Kalau tidaksaya akan tetap disini,” balasku (berusaha membuka pintu).

“Maaf,” katanya.

Pintu pun terkunci dengan rapat. Meskipun begitu aku tetap menungguinya. Tak terduga langitpun menjadi gelap gulita. Dan kini air pun mulai turun. Walaupun begitu aku tetap menungguinya. Di temani air aku berdiri di rumah cowok yang sangat ku dambakan. Kini hari semakin gelap dan hujan semakin lebat. Melihat hal itu sang bibi keluar dan menemuiku sembari membawakan payung.

“Ayo non masuk,” katanya.

“Iya makasih bi,” jawabku.

Sesampainya di dalam aku di beri handuk dan baju serta secangkir teh hangat. Setelah aku berganti pakaian aku pergi ke ruang tamu. Disana telah ada sang bibi yang telah menungguku. Dan aku pun duduk di sampingnya. Kemudian sang bibi mulai bicara padaku.

“Kenapa nona nekat sekali hujan-hujanan di luar?”, tanyanya.

“Karena aku ingin menemui Dafi. Dan aku ingin berbicara dengannya,” jawabku.

“Non ini pacarnya aden ya?”, tanyanya balik.

“Iya, saya Fia pacarnya Dafi,” kataku.

Sang bibi pun bergegas pergi menuju suatu ruangan. Setelah itu bibi kembali membawa sebuah kotak dan memberikannya padaku.

“Ini dari aden buat non,” (sambil memberikan kotak).

“Memangnya ini kotak apa?”, tanyaku.

“Buka saja non”, jawabnya.

Hatiku pun menjadi gelisah dan rasa takut menghantuiku. Setelah kubuka ternyata di dalamnya terdapat sepucuk surat dan setangkai bunga mawar. Kemudian aku membacanya dengan seksama. Tak tersadar air mataku menetesi kertas tersebut. Aku pun menangis dengan seketika tanpa memikirkan ada bibi di sampingku. Sang bibi pun bercerita bahwa surat itu dibuat sekitar 2 minggu yang lalu. Setelah ku mengingatnya ternyata waktu itu aku punya janji dengannya ntuk bertemu dengannya di cafe. Disana aku telah menungguinya lebih dari dua jam. Tapi dia tak kunjung datang. Ternyata dia mengalami kecelakaan yang cukup parah ketika di perjalanan menuju cafe. Dia pun harus di rawat di rumah sakit, setelah sampai ternyata sang malaikat telah menjemputnya dulu sebelum dia mendapat perawatan intensif. Sebelum berangkat ke cafe ternyata dia menyempatkan diri menulis sebuah surat. Bibi juga bercerita bahwa tak ada seorang pun yang boleh bicara denganku termasuk keluarga maupun Rizal. Padahal waktu itu adalah hari ulang tahunnya dan aku ingin memberinya sebuah kejutan. Tapi apa daya, kini dia telah pergi. Dia kini telah pergi untuk selamanya. Kini aku sadar betapa berartinya dirimu bagiku. Aku pun tak dapat berkata apa-apa setelah aku tahu ternyata Dafi mencintaiku hingga akhir hayat. Kenanganku bersamanya tak kan pernah terlupakan. Meskipun dia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata tapi aku bisa merasakan apa yang dia rasa melalui untaian kata dalam sepucuk surat dan setangkai bunga mawar. Dan kini aku menyadari besar cintak padanya setelah ia pergi tinggalkanku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline