Lihat ke Halaman Asli

Mengeja Kenangan

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jenuh aku mendengar kata-kata manismu yang terdengar tak cukup satu kali.Tiada hari tenang untuk hidupku ketika bersama kalian. Hari-hari penuh kekacauan yang membuat hatiku gelisah.Jeritan hatiku tak pernah kalian dengar, butiran air mataku yang tiada artinya lagi.Ketika amarah menguasai hati kalian ketika itulah pertanda bahwa aku memang tak ada dimatamu.Terbesit dalam pikiranku bahwa aku memang tak ada gunanya lagi.Apa aku anak buangan? Mungkinkah aku itu sampah bagi kalian? Jika tidak, terus kalian anggap apa aku ini? Tergoda aku untuk berpikir mengakhiri semua ini.Kini aku resah lemah tak berdaya tanpa kalian disisiku. Rinduku akan kemesraan diantara kita pun tak kan terjadi lagi. Suatu hari dikala kita duduk di terasmenikmatiudarasejukdisertaiburung yang berkicauan dan saling bersahutan menandakan bahwa alam sangat bersahabatdengan kita.Tapi kini telah sirna seiring dengan peralihan waktu.

Saat di mana kala itu kalian bertengkar tepat di depan kedua mataku, apa kalian tak pernah menyadari akan keberadaanku saat itu. Ketika kalian saling melotot dan bersikukuh mengeluarkan semua. Nada tinggi disertai gerakan saling melukai tak terhindar lagi. Dikala itu aku menjadi anak yang pendiam dan tak mau bersosialisasi dengan teman-temanku. Selain keluargaku yang sudah terombang ambing dengan ombak permasalahanaku juga sakit-sakitan. Hal inisemakin membuatku berpikir bahwa mati adalah solusi yang tepat untuk mengakhiri kepedihan hidupku.Apalagi ejekan dari teman-temanku tentang orang tuaku pun tak terhindar lagi. Begitu juga keadaan keluargaku yang semakin kacau balau.Sulit rasanya melewati semua itu ketika aku masih duduk dikelas 1 sekolah dasar.Tapi kini tak ada gunanya lagi menyesali semua itu.Kini aku sudah terbaring lemas takberdaya di atas ranjang rumahsakit.Tak banyak waktu yang aku punya untuk merasakan hembusan nafas dan detak jantung yang senantiasa saling berkolaborasi mempertahankan tubuh mungilku ini.

Apakah aku harus menyerah begitu saja dengan keadaan atau aku harus bangkit untuk mengubah duniaku untuk menjadi lebih baik lagi? Aku bimbang dengan semua pertanyaan yang selalu menghantuiku kala itu.Terlalu mudakah untuk aku menanggung beban hati dan fisikku ini? Setelah aku merenungkan semua ini aku pun tersadar untuk memberanikan diri mengungkapkan semua kegelisahanku selama ini pada kedua orang yang telah membesarkanku. Kala itu aku bilang dengan mereka bahwa aku muak dengan sikap orang tuaku selama ini yang mengacuhkan perasaanku dan saudara-saudaraku. Aku pun pernah berkata dengan tegas dan lantang “Apakah kebahagiaanku bisa kalian beli dengan hartamu?”.Tak terucap sepatah katapun dari mulut mereka.Diam membisu dan memelukku dengan penuh kasih sayang.Tangis haru pun terluapkan di kala itu.Mereka pun bias menyadari dan memaham ikegelisahanku. Hingga pada akhirnya aku bias bahagia bersama kedua orang tua dan saudara-saudaraku dengan penuh kasih saying dari mereka.Kini aku mulai menyadari akan pentingnya komunikasi dalam sebuah keluarga. Semua akan indah di kala ucapan itu berasal dari hati dan akan membuat kita jauh akan penyakit hati. Meskipun kini kondisiku lemah tapi hal ini tak menyurutkan semangatku untuk bangkit lagi memperjuangkan hidup demi keluarga tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline